Senin, 25 Agustus 2008

remaja dan rokok

Cancerous Human Lung and our beloved son, Oim (Haneev)

Look Oim..This dissection of human lung tissue shows light-colored cancerous tissue in the center of the photograph. At bottom center lies the heart. While normal lung tissue is light pink in color, the tissue surrounding the cancer is black and airless, the result of a tarlike residue left by cigarette smoke. Most lung cancer begins in the cells lining the main air passages, or bronchi. In their cancerous state, these cells lack the cilia that normally catch and eliminate foreign particles inhaled into the lung. Mucous ordinarily cleared by bronchial cilia becomes trapped, blocking air passages. Lung cancer accounts for the largest percentage of cancer deaths in the United States, and cigarette smoking is directly responsible for the majority of these cases. (Ngarti teu daria rok?)
Microsoft ® Encarta ® 2008. © 1993-2007 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Setiap orang tua yang normal pasti menginginkan anaknya tumbuh secara sehat lahir dan bathin. Begitu pula aku dan suamiku menginginkan anak-anak kami demikian adanya. Kami tak ingin anak-anak kami kena penyakit paru2 misalnya.

Aku masih ingat. Setiap kali aku hamil, Ayad suamiku, (bisi teucan nyaho…Muayad tea, nu pangkasepna!) kerap berdoa sambil mengusap-usap perutku dengan kata-kata: “Ya Allah……semoga anak kami sehat…lahir dan bathin…”

Nah, ketika Oim menginjak usia remaja dan melihat bahwa teman-temannya merokok (maaf ya Im, mamah tulis ini), aku mulai khawatir bahwa doa suamiku itu takkan terkabul. Jika saja suamiku yang tak merokok itu masih ada (hiks..), mungkin aku tidak semasgul sekarang ini. Dan…

Mulailah meluncur cerita seram ini…. cerita langsung dari mulut anakku sendiri (Kejadian nyata..pandangan mata, nama dan tempat kejadian tidak dirubah demi menghormati pelaku).
Aku mendengarkannya bercerita dengan takzim…plus dag-dig-dug..
Pada suatu pagi di musim hujan, Oim dan teman-temannya sekelasnya pergi camping ke Sukabumi. ( Serem kan? Eh, belom ya..)

Di jalan yang basah oleh air hujan, mobil truk tentara yang membawa puluhan anak-anak innocent itu melaju meninggalkan Jakarta itu menuju tempat kemping di daerah yang sejuk itu. Seorang guru muda menemani mereka di belakang.

Anak-anak itu rupanya ingin sekali merokok. Pasti haneut..euy (anget). Tapi gimana yaa, ada pak guru. Bahaya!!! Dalam UUSS (Undang Undang Siswa Sekolah, istilah baru, red.) ketahuan merokok artinya terkena poin 50%, yang berakibat skorsing. Jika angka itu ditambahkan dengan ‘dosa-dosa’ mereka sebelum atau sesudahnya, mereka bisa dikeluarkan.

Sang guru yang mengusik kebebasan berekspressi anak-anak pentil itu (maaf, bahasa sunda, artinya masih muda banget) dirayu oleh mereka agar pindah ke depan. Celakanya, pak guru itu mau saja. Mungkin beliau mau merokok juga di depan, hihi.
Maka cerita selanjutnya bisa ditebak. Asap rokok mengepul dari mulut-mulut mungil itu, berebutan menari-nari keluar dari gerobak truk tentara, laksana kereta api dari Jakarta ke Menes-Labuan pada tahun 70-an.

“Bener, mah.. kayak kabut di puncak, gitu” kata Oim meyakinkanku. Sepertinya dia menceritakan sesuatu yang indah sekali.
Lalu para calon pemimpin bangsa yang akan berkemah pramuka-osis itupun tertawa-tawa ditingkahi suara truk yang menderu.

(Nafasku mulai turun-naik,tersengal-sengal)
“Laju Oim kumaha?” tanyaku harap-harap cemas.
“Atuhh…sarua bae…” Senyumnya mengembang.
“Haaaaa???” Nyaris aku mati kekagetan .
“Habis berapa b-a-ta-n-g?”tanyaku terbata-bata. Kalau punya penyakit asma, kambuh deh benge’kku.

“du..a..” katanya tak kalah kagetnya. Sepertinya Ia kaget karena melihatku kaget.

Pembaca, selama ini memang dia suka bercerita, tentang apa saja, tapi hanya sebatas cerita biasa, perihal tingkah polah dia dan teman-temannya. Tapi ceritanya kali ini membuat mataku hampir loncat dari kelopaknya.

Mungkin obrolan, canda, seloroh, akhirnya menjadi suatu kesan yang mendalam lalu menginspirasi, hingga ia menjadi terobsesi untuk mencoba sesuatu. Sesuatu yang menurut peers (panutan)nya enak, nyaman, seru, gaul, atau entah apa lagi namanya.

Pengaruh lingkungan, kata guru BK di sekolah tempatku mengajar. Tapi..
“Bukan mah… bukan salah mereka.. Oim mau coba sendiri kok..soalnya rokok itu…..seungit (harum)” katanya sambil mengangkat alisnya.

Astaghfirullah…
“Nak… bukankah…guru kalian melarang keras merokok?”
“Ya iyaalah kalo ketahuan mah” jawabnya dengan senyum penuh kemenangan.

Bahagianya para remaja jika berhasil mengolok-olok orang tua atau gurunya. Bagaikan anak panah yang menghujam dada. BAGIKU INI BUKANLAH HAL YANG LUTJU dan PATUT DIRAYAKAN. ANAK-ANAK ITU SUDAH TIDAK JUJUR. DAN ITU BERARTI PROSES DEKADENSI MORAL mulai melanda GENERASI MUDA kita. Huh!

Well, aku punya ide..
“Kalau begitu mamah mau….” Belum selesai aku bicara, ia sudah dapat menangkap maksudnya.
“Jangan! Awas kalau mamah lapor pada guru!” ancamnya serius. “Oim akan di bully teman-teman, dan semua orang bisa kena, termasuk Oim.”

Entah mendapat kekuatan dari mana, (Oya, tentu saja dari sang Maha Pemberi Kekuatan), Alhamdulillah, kita, manusia, dikaruniai otak dan hati. Aku tersenyum menyadari hal ini. Suaraku menurun.
“Kalau begitu keinginanmu, baiklah.. berarti kamu memperingan pekerjaan mama,” kataku sambil membaca bismillah dalam hati.
“Maksudnya?”

“Mamah tidak perlu membuang-buang waktu untuk datang ke sekolahmu dan mengurusi anak-anak orang lain itu” jawabku dengan memberi tekanan pada kata-kata ‘anak-anak orang lain’, “Biar ibunya masing-masing yang ngurusin!”

“Kecuali bila disebut khusus!” kali suarakunaik lagi, penuh semangat, seperti suara pembaca berita RRI Jakarta yang memberitahu harga wortel tanpa daun- di pagi hari
Aku sangat bersyukur dapat mengatakan hal ini. “Mama hanya akan mengurus anak mama sendiri!”

Dia diam. “Get what I mean??” tanyaku mendesak, menuntut jawabannya.
“Ya, artinya, jika Oim masih coba-coba merokok, maka mama akan datang ke sekolah.., iya, kan?”

Aku mengangguk mengiyakan.
Mumpung belum terlanjur. Ia harus memilih; Jika ia memilih merokok, maka seluruh hidupnya akan digadaikan pada benda kecil bulat panjang yang akan merusak janin,menyebabkan kanker dlsb itu.

Jika ia memilih diejek kawan untuk sementara, maka berarti ia memilih kemenangan. Jangan Kuatir anak muda, jalan masih panjang. Kawan masih banyak. Kata Opick, jika mau berbahagia, maka..”Berkumpullah dengan orang soleh..”
GO Oim, Go Champion!!!

Rabu, 20 Agustus 2008

mendidik tanpa kekerasan

Pada suatu hari Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi, memberi ceramah di Universitas Puerto Rico. Ia menceritakan suatu kisah dalam hidupnya :

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orangtua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, ditengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Pada suatu saat, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya mengerjakan beberapa pekerjaan tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.Pagi itu setiba di tempat konferensi, ayah berkata, ”Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.” Segera saja saya menyelesaikan pekerja-pekerjaan yang diberikan oleh ayah dan ibu.
Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu.
Begitu melihat jam menunjuk pukul 17.30, langsung saya berlari menuju bengkel mobil dan buru-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18.00 !!!Dengan gelisah ayah menanyai saya, ”Kenapa kau terlambat ?” Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton bioskop sehingga saya menjawab, ”Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.”

Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, ”Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan engkau sehingga engkau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarkanlah ayah pulang berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.”

Lalu dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah.
Padahal hari sudah gelap dan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami beliau hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi. Seringkali saya berpikir mengenai kejadian ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya, sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapat sebuah pelajaran mengenai mendidik tanpa kekerasan ? Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu, menyadarinya sedikit dan melakukan hal yang sama lagi.

Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru terasa kemarin. Itulah kekuatan bertindak tanpa kekerasan.
Ketika kita berhasil menancapkan suatu pesan yang sangat kuat di bawah sadar seorang anak maka informasi itu akan langsung mempengaruhi perilakunya. Itulah salah satu bentuk hypnosis yang sangat kuat. Apakah hal sebaliknya bisa terjadi ? Ya bisa saja ! Oleh karena itu kita perlu keyakinan penuh dalam melakukannya sehingga hasil positif yang kita inginkan pasti tercapai.

Hal ini memerlukan pemikiran yang mendalam dan kesadaran diri yang kuat dan terlatih. Janganlah bertindak karena reaksi spontan belaka dan kemudian menyesal setelah melakukannya.Jika kita mau berpikir sedikit ke belakang ke masa di mana anak-anak kita masih kecil sekali maka di masa itulah semua ”bibit” perilaku dan sikap ditanamkan. ”Bibit” perilaku dan sikap inilah yang kelak akan mewarnai kehidupan remaja dan dewasanya. Siapakah yang menanamkan ”bibit” perilaku dan sikap itu untuk pertama kalinya ? Ya anda pasti sudah tahu jawabnya, kitalah orangtua yang menanamkan segala macam ”bibit” perilaku dan sikap itu.Bagaimana jika sebagian besar waktu anak dihabiskan dengan pengasuhnya ( baby sitter ).

Ya berdoalah semoga pengasuh anak anda mempunyai pemikiran bijaksana dan bisa mempengaruhi anak anda secara positif. Berharaplah pengasuh anak (baby sitter) anda mengerti cara kerja pikiran dan mengerti bagaimana bersikap, berucap dan bertindak dengan baik agar anak anda memperoleh ”bibit” sikap dan perilaku yang baik.Seseorang bisa menjadi baik atau buruk pasti karena sesuatu ”sebab”. Perilaku, ucapan sikap, dan pikiran yang baik atau buruk hanyalah suatu rentetan ”akibat” dari suatu ”sebab” yang telah ditanamkan terlebih dahulu. Mungkinkah terjadi ”akibat” tanpa ”sebab” ? Mungkinkah anak kita berbohong tanpa sebab, mungkinkah anak kita ”nakal” tanpa sebab, mungkinkah anak kita rewel tanpa sebab ? Sebagai orangtua kita wajib mencari tahu apa penyebabnya.

Tidaklah pantas sebagai orangtua kita langsung bereaksi spontan begitu saja tanpa memikirkan apa yang baru saja kita perbuat. Bukankah ini akan memberi contoh baru bagi anak kita tentang bagaimana bertindak dan bersikap ?Sewaktu kita mempunyai anak maka kita menjadi orangtua, tetapi kita tidak pernah punya pengalaman menjadi orangtua. Kita mempunyai pengalaman menjadi anak. Jadi kita harus mendidik diri kita sendiri dengan belajar dari anak-anak.

Bukan belajar dari apa yang dilakukan orangtua pada kita. Ingatlah perasaan sewaktu kita masih menjadi anak-anak. Amati mereka dan tanggapilah dengan penuh perhatian apa yang mereka inginkan. Pengharapan, perlakuan dan pengakuan seperti apa yang kita inginkan dari orangtua yang tidak pernah terpenuhi ?Perlakukan anak-anak seperti kita ingin diperlakukan ! Jangan perlakukan anak-anak seperti apa yang dilakukan orangtua pada kita.Wish you become the best parents in the world !

Selasa, 19 Agustus 2008

Oim dan sunat

Seringkali kita, (kita? lo doang kalee, gue nggak!) sebagai orang tua merasa berlebihan menyikapi perkembangan anak. Karena merasa ia istimewa, kami kadang "terlalu bersuka cita" (over-estimated>) dengan anggapan-anggapan kami sendiri. Padahal yang orang tua pikir (parents' thought) belum tentu sama dengan yang anak pikir (children' thought). Bahkan tak jarang bertolak belakang.

When my little Oim (waktu itu 7 tahun) yang sudah terbiasa Solat dan Jum'atan tiba-tiba minta disunat, tentu saja aku dan suami merasa senang dan terkejut, senang karena mengetahui jalu kami seusia itu udah ngerti kewajibannya sbg anak lelaki, tapi terkejut karena kok seperti terburu-buru.

Waktu itu hari kamis, dan dia minta disunat hari Jumat keesokan harinya.

"Ha? besok Im?" tanyaku
"tapi gapapa deh..boleh.." kata ayahnya. Kamipun sepakat.
Selain tidak perlu repot-repot lagi mencari waktu lain, juga (kami pikir)Oim sudah paham akan mulia dan berkahnya hari Jumat, hari besar umat Islam.

Tentu saja kami 'pakepuk' mempersiapkan segala sesuatunya; mental dan spiritual, fisik dan material (buzz!). Kamipun telpon ke klinik terdekat untuk menanyakan kemungkinan bisa/tidaknya Oim disunat besok.

"Ok, besok dokternya bisa. Tapi di rumah,ibu tinggal dimana?" kata petugas klinik. Wah..seperti private doctor,kami was-was, takut biayanya lebih mahal.

"Nggak kok bu, tarif biasa, laser rp 125 ribu, ini karena dokternya sekalian mau ke klinik lain, jadi lewatin rumah ibu1" jelas si petugas panjang lebar.

Singkat cerita, Alhamdulillah, selesailah si kulup disunat. Setelah dokter pulang dan Oim berbaring, sambil menyuapinya aku bertanya pada Oim, kenapa ia mau disunat pada hari Jumat.

Dengan santai ia menjawab
"Karena Oim males diajak Solat Jumat ke mesjid sama papa....abis lama khotbahnya.."

ha?

Senin, 18 Agustus 2008

Oim dan mencuci pakaian

sudah beberapa bulan ini oim dan teta mencuci pakaian sendiri. sekalian mencuci pakaian lain, aku atau teh Nok merendamkannya untuk mereka, supaya pas mreka nyuci kotorannya sudah lepas.
So far it runs well. Mereka dapat memilih waktu mencucinya sepulang dari sekolah. Tetapi akhir-akhir ini Oim sering mengeluh dan protes jika melhat tumpukan cuciannya di ember.
"Ma, what's the difference between me and a servant?" tulisnya besar-besar di layar monitor. Aku mengajak dia duduk untuk mendiskusikannya. Aku memintanya, untuk kesekian kali, untuk mengerti bahwa setiap orang adalah sama. Yang membedakan adalah prestasinya di mata Allah, bahwa kita harus (belajar)mandiri dan bertanggung jawab, bla..bla..bla,
Sepertinya dia paham, dan untuk sementara kondisi aman terkendali
Tapi suatu hari selepas magrib, dia minta biara 4 mata denganku. Wah serius nih! pikirku.
"Ma, sekali lagi Oim mau omongin soal cuci mencuci ini." tembaknya.Wajahnya kelihatan lelah dan menahan marah.
Aku bersiap-siap." Emangnya kenapa?"
"Coba mama perhitungkan, beban Oim ini seberapa banyak..mmm ...mungkin enggak beda jauh sama mama," katanya. "Dari pagi Saya belajar sampai sore, lalu semua guru pada gila ngasih PR, belum selesai PR Oim, rendeman cucian menunggu di kamar mandi.Oim bisa gila maa..." tambahnya berapi-api.
Aku memandangnya, menyiapka kata-kata untuk menjawabnya. Tapi keduluan,
"Tapa apakah mama mencuci juga ? idak kan? Baju-baju mama dicucikan teh Nok " serobotnya tak terendung. Wah....
"Oke..Oke," sergahku. "Mama memang tidak mencuci, tapi mengerjakan yang lain.." Aku mengukur-ukur apakah jawaba ini seimbang buatnya.
"Tapi nggak tiap hari..." matanya mulai mendung.
" Baik, Oim maunya bagaimana?" potongku.
"Sekarang aja oim udah ngak punya tenaga..."air matanya jatuh.
OH, anakku!! Lalu dia diam sejenak.
"Oim mau serius sekolahnya. Di SMA ini berat bebannya, jadi jika masih seperti sekarang ini, jangan salahkan jika prestasi Oim anjlok.."
Aku memandang anak laki-laki semata wayangku itu. Memandang badannya yang kurus. Memandang keputusasaan dan kesedihannya.
"Sini deh.." aku memintanya mendekat. Dia menggeleng. Dia ingin kepastian. Kepastian untuk tidak mencuci pakaiannya tentunya.
"Oim, maaf, selama ini mama menganggap Oim itu sudah hebat, karena mampu belajar mandiri dan bertanggung jawab. Jika saja Oim bisa mengatur waktu, misalnya mencuci dua hari sekali atau seminggu sekali.."
"Tidak bisa maa., it's getting worst"
"Kumaha atuh?" kataku kehabisan akal.
"Oim itu masih anak-anak ma...coba atuh..berikan Oim "pelajaran bertanggung jawab"
bukan "bertanggung jawab penuh",
..................

Kamis, 14 Agustus 2008

posting kedua..

RENUNGAN SABTU PAGI

Tulisan ini diberi judul renungan sabtu pagi, karena ditulisnya setiap sabtu pagi. Biasanya abis shalat subuh.-

Suatu sore datang seorang keponakanku yang baru saja diterima kerja di sebuah sekolah bilingual untuk pra TK di bilangan Pondok Indah. Itu adalah pekerjaan pertamanya setelah sekian tahun kuliah di fakultas pendidikan jurusan bahasa Inggris UIN Jakarta, jadi dia masih merasa nervous untuk memulai hari pertamanya.

“Can I handle the kids ya bi?” tanyanya padaku. Aku berfikir sejenak dan menjawab sekenanya. “hmmm..bagaimana kalo kamu… latihan dulu?”

“Maksudnya?”tanyanya antusias.

“Mengajari anak-anak bibi dulu. Mereka ‘kan beragam tingkat pendidikannya; ada yang tk, sd, smp dan juga sma”

Keponakanku melotot.

“Tidak, terimakasih!” katanya kalem sambil tersenyum manis sekali.

No wonder. Jawaban yang masuk akal, pikirku saat itu.

Tapi terus terang, Ya Tuhan, I was surprised dengan jawabanku sendiri, karena ternyata benar kata-kataku tadi. Benar-benar terjadi. Bukan hanya seloroh.

Ternyata….

Oim baru saja berhasil diterima di kelas 1 SMA beberapa hari yang lalu (Wah Oim udah SMA, man!), rasanya baru kemarin mengantarnya ke sekolah TK di hari pertama.

Teta sukses masuk MTs kelas satu, Ola Alhamdulillah sudah naik ke kelas 4 SD, dan Cinta baru saja diwisuda di playgrup lantas melanjutkan di TK.

Subhanallah…………..

Keren..keren…, aku sangat gembira menyadari bahwa aku telah dikaruniai Allah harta yang sangat berharga, yaitu anak-anak yang sehat dan normal. Mereka tumbuh sesuai usianya, berkembang kemampuannya, dan yang terpenting adalah mereka aku lahirkan dalam keadaaan Islam.

BUKANKAH ITU MENCENGANGKAN? SUBHANALLAH!

Selain itu, aku masih diberi umur yang cukup sampai saat ini sehingga dapat menemani tumbuh kembang mereka

Aku juga bersyukur bahwa ayah mereka telah memberi bekal yang cukup, yang sudah dia lakukan,yang dia katakan, maupun pesan –pesan tak terucapkan ataupun sinyal-sinyal yang dia sampaikan lewat sikapnya sehari-hari ataupun lewat sorot matanya pada saat-saat menjelang kepergiannya.

Pancuran kasih sayang keluarga besarku, dan keluarga besar suamiku adalah penghantar semangat anak-anakku dalam menjalani hari-hari mereka.

Lihat ini ketika teta wisuda

Kerabat, sahabat, dan mereka yang menyapa dengan penuh kasih yang tulus, merupakan karunia Allah yang tidak terhingga bagi kami. Keberadaan mereka inilah yang menepis anggapan orang-orang (bahkan anggapan diriku sendiri) yang mengatakan bahwa aku sendirian mendidik anak-anakku.

Bantuan moril dan materil, serta doa mereka yang tak putus-putusnya, seperti selimut hangat dikala dingin dan semilir angin dikala panas.

Dengan segala kerendahan hati, izinkan kami ‘tuk mengucapkan terimakasih pada Aa Aal, Teh Eneng, Teh Fifi, yang sering menjenguk kami di akhir pekan. Membawa penganan kecil yang menggembirakan, dan keakraban yang tak ternilai harganya.

Juga untuk bi Uum, mang Didil, serta Teh Denis yang senantiasa memperhatikan anak-anak sampai hal yang sedetil-detilnya, seperti anak mereka sendiri. (kalian adalah payung di musim hujan)

Salam khidmat dan terimakasih kami pada Umi, wa Eman sekeluarga, wa Umay, wa Memen (yang rame dan ramah), Wa Wawi (yang sabar dan damai, sehingga kehadirannya selalu dirindukan Cinta), Wa Een, Wa Neneng (yang walaupun jauh di Bengkulu, tetap dekat dihati kami), Wa Ene sekeluarga (Makasih wa, suka nelpon kalo wa Udin lagi Mudik, serta kiriman oleh-oleh rengginang dan gegemblong tentunya).

Wa memen pun datang saat Cinta samenan

Ucapan terimakasih yang tak terhingga kami sampaikan pada Almarhum Nenek dan Abah, yang mengajarkan kebiasaan mengaji setelah magrib padaku sehingga anak-anakku mau mengaji (Oya, nek, Teta dan Ola beberapa kali mendapatkan plakat dan piala dalam bacaan Alquran). Semoga Alquran diamalkan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Juga kami sangat terkesan pada almarhumah Nenek Jati (‘Emi), yang sederhana dan baiiiik hatinya. Semoga mereka diampuni segala dosanya oleh Allah SWT, dan diberikan tempat yang indah disana. Amin. Juga Mama jati dan E’mi yang baru,

Wa Uun, wa Inun, wa Yati dan keluarga, wa Tutin, wa Enas, Bi Aan dan A Ade yang semua kehadirannya menginspirasi

Keseharian kami. Sungguh, keluarga Jati sangat berbeda dengan keluarga Majau. Aku belajar tentang kejujuran hati dan kesungguhan mengasihi dari mereka semua.

Walaupun mereka tidak melihat langsung sepak terjang kami dalam mengarungi kehidupan ini, tapi mereka mengetahui perkembangan kami dengan cukup detil, karena kami menjaga komunikasi.

Memang tak dapat dibantah bahwa perjalanan dalam mengasuh dan mendidik anak-anak tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Mau bukti?

Lihatlah kehidupan kami di pagi hari. Anak-anak yang susah dibangunkan padahal harus sudah bersiap-siap berangkat ke sekolah. Tak jarang Oim harus kembali dari sekolah karena ketika sampai disana sudah lewat dari jam tujuh. Dia tidak dipebolehkan masuk oleh satpam karena pintu gerbang sudah digembok.

Begitu pula Ola. Dia belum bangun kalau belum jam setengah tujuh. (Itu dulu, sebelum dia kelas 4). Bayangkan! Sekolah akan mulai jam tujuh tapi ia baru bangun jam setengah tujuh! Belum lagi dia harus mandi, sarapan dan memakai baju, yang nauzubillah susahnya. Itu kalau tidak pake acara ngambek.

Untung ada Nano (teh Enok) yang dengan Kunti (tekun dan teliti) membantu tetek bengek urusan rumah tangga kami (makasih ya Nooo… tanpamu hidup kami tak ada artinya, semoga Nano dapat suami yang ngganteng, soleh dan ‘tajir’)

Stres..stress..

Tiap pagi aku bernyanyi dengan lagu yang sama.. mengomel sambil hilir mudik kesana-kemari menyiapkan ini itu. Sometimes I come late also to school where I work, disambut oleh senyum dingin wakil kepala sekolah.

“Sorry…buu” hormatku sambil nyengir kuda.

“hmm yyaa… deh” tukasnya cepat, tentu saja sambil cemberut. “awas lo ya..besok…masih mau ngajar nggak sih?”

Huh! Sebel banget kalau pagi hariku sudah begitu.

But .. the show must go on. Di kelas , anak-anak bertanya

“ms… why are you late?”

“hmm.. ms nyiapin anak-anak mis dulu…”

“ You must be punished then………!” seru anak-anak yang lucu itu. Wah gawat!

Aku duduk. Menarik nafas panjang. Kelas, tak kupungkiri, adalah tempatku mengais pahala dan rezeki. Jadi aku harus tenang dan menciptakan kenyamanan bagi diriku sendiri. Supaya aku dapat bekerja dengan baik. Maka aku cepat-cepat beradaptasi dengan suasananya, yang keadaannya sangat berbeda dengan rumah.

Begitulah keseharian kami. Mereka, yang Tk sampai SMA harus membawa bekal dari rumah untuk makan siang agar mereka tidak lapar dan supaya menghemat. Jadi sebelum berangkat kami mengisi 5 rantang nasi dan lauk pauknya (kalo lagi ada).

Uang jajan Ola dua ribu, Teta lima ribu, Oim delapan ribu. Itu untuk tambahan bekal jika mereka masih lapar atau haus. Begitupun kerap mereka minta tambah.

“Kurang maa.. ga ada yang seperti Oim. Teman-teman bawa uangnya lebih banyak!” atau

“maaaaaaaaa, Ola masih laaapeerrrr, mana cukup uang dua rebu!” atau

“mmaaa, teta mau beli nasi padang!”

Tapi aku selalu memberi pengertian pada mereka untuk memahami keadaan, walaupun kadang hasilnya tidak selalu memuaskan. Kukatakan, bahwa kita harus membayar lebih banyak untuk masa depan kita yang lebih baik. Gubrak!

“Tapi Oim maunya sekarang… bukan masa depan. geuraeuun.”

Sore hari kami berkumpul lagi. Gembira sesaat karena sudah terbebas dari pelajaran sekolah, lalu ritual keluarga berlangsung kembali. Jika tidak diingatkan, anak-anak mungkin tidak mandi sore, bahkan mengganti baju sekolah sajapun enggan.

Bau matahari, sisa makanan, kaos kaki lembab bercampur baur di ruang keluarga sekaligus ruang tidur dan ruang makan rumah kontrakan kami yang sempit. Suara gitar Oim, alunan lagu Nidji dari MP3 dan omelan-omelanku menjadi simponi ‘merdu’ tak terperikan.

Jika magrib tiba, semua berebut kamar mandi. Memarahi satu dengan yang lainnya, masing-masing ‘mengklaim’ bahwa yang lain adalah yang menjadi penyebab keterlambatan mereka mandi atau solat.

Lalu tidak satupun ada yang mau sholat berjamaah dengan alasan ‘mamah itu lama bacaannya’.

Setelah itu mereka berebut sajadah atau mukena walaupun jumlahnya cukup untuk kami berlima.

Hiruk pikuk itu akan mulai reda jika mereka sudah mengaji dan membaca buku. Aku mewajibkan mereka membaca Alquran dan bacaan lain -apa saja- sesudah maghrib. Tentu saja jika Ola atau Teta ada PR, mereka harus bikin PR dulu. No television, hardikku selalu, walaupun mereka merengek. At last sih, Walhasil mereka menurut, dan mulai enjoy with their books.

Nano baca Nida atau Ummi. Oim biasanya lebih suka PC media, ituloh majalah kecil yang hurufnya ketjil-ketjiil banget. (Sebenarnya ada edisi yang besar dengan iming-iming hadiah sebuah cd program, tapi lebih mahal harganya).

Teta membaca buku cerita remaja, Ola lebih memilih majalah bobo. Adek Cinta suka “Benny n Mice”

haa???

Oya, bobo ‘kan datangnya hari kamis. Setap majalah itu tiba, pasti berantem, yang akhirnya kadang membuatku menyita majalah itu sehingga tak satupun membacanya.

Kadang mereka begitu dekat, begitu akrab. Bernyanyi lagu baru bersama, diiringi musik dari mp3 di computer, atau gitar oim. Gonjreng-gonjreng. Kadang Oim dan Teta curhat tentang teman sekolahnya.

Oim sangat terpesona pada lagu2 Iwan Fals, terutama lagu tentang Bung Hatta, kalau Ola dan Tetamah lagu apa ajah.. , yang penting lagu baru yang lagi ngetren. Tren….

Dan Cinta? “Atulah mahlut Tuhan …yan telchipta yan palin setsihhh….. aw… aw.. aw.. ich.. ichh…” teriaknya dengan suara cempreng sambil goyang-goyang ala Mulan Jamile.

Selasa, 12 agustus 2008

Usai makan malam di ruang depan, aku meraih buku yang terdekat dari jangkauan dan membacanya. Cinta (kala itu usianya 3,9), Yang sedang main boneka zero kesayangannya, tiba-tiba bertanya,

“mah, talo itan itu belbahadia ndak? (mah kalau ikan itu berbahagia nggak?)

Sambil terbengong-bengong karena bunyi pertanyaannya, aku menjawab, “iya dong sayang… Ikan juga berbahagia,” kataku. Ia memperhatikanku dengan seksama, seolah-olah mengukur kebenaran jawabanku.

“Talo dia dipoton, dimana? (kalau dia dipotong, bagai mana?)” tanyanya lagi.

“Wah…” sergahku dengan perasaan berbunga-bunga karena senang, “kalau dipotong sih, dia sakit. Kasihan juga dek..” Aku memandang matanya yang bulat.

“Dek… emangnya bahagia itu apa sih? Aku mau tahu apakah dia mengerti arti kata itu.

“Adek ndak tauuuu……….”

Rabu, 13 Agustus 2008

akhirnya......

akhirnya datang juga kesempatanku untuk nulis. Tapi untuk masuk sini harus dibantu oim, makasih ya im!