Kamis, 04 Agustus 2011

Ahmad Muayad, melawan Hepatitis B





Oim, Teta, Ola, Cinta;
Dengarlah cerita romansa Mama... (ehem)

"Pada tahun 1983 aku mengenalnya. Saat itu aku baru masuk Aliyah (SMA) di kota ketjil di Banten. Pada saat pertamakali bertemu dia, aku tidak melihatnya sebagai sebuah sosok yang istimewa. Sebagaimana adanya aku ini, yang agak sulit mengenal teman baru, aku juga belum hafal nama teman-teman baruku di bulan-bulan pertama di kelas satu.

Justru aku mengenal dia dan mulai memperhatikannya pada saat pamanku memanggil dia ke rumahnya gara-gara dia dan teman-temannya membuat kaos seragam kelas yang bergambarkan tokoh Mathla'ul Anwar (nama sekolahku), ki Abdurrahman, yang notabene adalah ayah kandung pamanku.

Apa salahnya? kataku dalam hati. Ternyata pamanku menganggap dia itu lancang< membuat kaos bergambar ayahnya tanpa izin. Wah saat itu cukup ramai respon warga sekolah yang jumlahnya ratusan orang tsb. Pokokna rada heboh beh, dan nama ahmad Muayad menjadi ngetop :) !

Nah... lanjut?? ( nak denga lagi? )

Singkat cerita, di kelas dua si Muayad terpilih menjadi ketua OSIS dan aku bendaharanya. Seperti cerita klasik, bertemulah kami dalam banyak event, dengan pengurus lain dan juga our schoolmates.

Tapi kalian jangan kira kita mempunyai love story yang indah...

Tadinya kupikir seorang ketua OSIS akan menjadi leader yang memiliki good interpersonal skills, yang bisa get along dengan crew-ya. Yang akan heboh mensosialisasikan program2 OSIS pada teamworknya. Tapi rupanya dia ini mempunyai karakter yang menurutku aneh. Dia sangat pendiam dan cenderung sangat hati-hati. Aku tak mengeri apakah dia pemalu atau sombong. Jika dia bicara dengan perempuan, dia akan memalingkan muka dan hanya memperlihatkan kupingnya yang lebar. :)

walhasil, kalau ada rapat atau acara, dia pisahkan laki-laki dengan perempuan, dan kami duduk di belakang. Huh.. menurutku dia itu sangat konservatif dan sok tua...

Belakangan aku baru tahu, ternyata dia sangat menjaga ucapannya, dan tahu tidak? dia itu sangat menghormati wanita... (nanti kuceritakan buktinya)

Muayad adalah lelaki yang sangat helpful. Waktu pertamakali masuk IAIN Jakarta (sekarang UIN), aku melihatnya mengantar temanku ke pasar, menjinjing lemari lipat temanku itu dan memasangnya di kontrakannya. Tadinya kupikir mereka punya hubungan spesial, tetapi ternyata ia membantu siapa saja yang meminta tolong padanya setiap saat ada yang memerlukan bantuannya.

Sikap pendiam dan acuh-tak acuhnya masih kelihatan setelah dia menjadi mahasiswa sekalipun, . Ini hal yang sangat kontras dengan sifat penolongnya. Setiap kami berpapasan di kampus, dia tidak banyak bicara jika tidak perlu. Begitulah setidaknya sampai kami dua tahun kuliah di IAIN.

Tapi kadang dia itu unpredictable. Suatu hari ia mengajakku berlangganan majalah Tempo dan Intisari. Ola tahu nggak? mama tuch seneng banget!!! :) karena dengan begitu kami bisa sering bertemu .. (suit suit!!!)

Nah..karena kami memiliki keterbatasan finansial, maka uangnya urunan dan membacanya bergantian.

Sebenarnya aku ingin membacanya bersama-sama biar tidak telat informasinya (yang bener nih?) tapi karena tempat kos kami berjauhan dan beda jurusan, maka kami membacanya secara berggiliran.

Saat yang lain, Muayad mengajakku dan Maryati berdiskusi di organisasi kampus , dan jika pulangnya larut dan gelap, ia mengantar kami pulang, tanpa berbicara sepatah katapun.

Terkadang aku sangat kesal dan kadang juga sangat gembira. Aku kesal pada diriku sendiri kenapa aku memiliki perasaan tertentu terhadapnya, padahal dia memang baik pada siapa saja. Kami sering bersama dalam event kemahasiswaan atau organisasi ekstra, dan semakin hari aku melihat pribadinya semakin matang.Dia sangat percaya diri tetapi tetap rendah hati, kalau bicara seperti diatur biar tidak salah cakap.

Salah satu hobinya adalah membaca buku di perpustakaan, dan dalam beberapa kesempatan ia mengajakku membaca bersama. Di perpustakaan tidak ada pembicaraan (ya iyalah... wong itu tempatnya baca!). Aku sih mengira dia akan mengajakku bercakap-cakap, paling tidak tentang isi buku yg dibaca kek... atau hal yang rada serius lainnya.. ngga apa-apa.. yang penting ada discuss gitu...

Tapi tdk ada itu.. kami membaca dan pulang. garing....

Tapi kenapa ya Muayad mengajakku kesana bersama? kalau mau, pergi aja masing-masing, baca aja masing-masing? gerutuku dalam hati.

Keadaan ini sangat mengganggu dan sedikit banyak mempengaruhi caraku belajar sampai sekitar 2 tahun lamanya. Cukup lama, kan? Sampai kemudian kami mengadakan sebuah acara bakti sosial di ujung pulau Jawa.

Dia memberikan sebuah kaset berisi lagu-lagu yang kira-kira mewakili perasaannya, dan berkata bahwa ia ada kemungkinan akan pergi, pindah kuliah.

Ha? Kemana? Tidaaaaaaaaaaaaaaaaak !!!

Begitulah Muayad, dia bicara padaku malam itu...
sebuah pembicaraan yang mendebarkan, yang sudah kunantikan selama dua tahun.

Dia bertanya,
"Maukah kau menungguku empat tahun lamanya? Aku dapat beasiswa kuliah di negara Sultan Bolkiah".

Empat tahun? di Brunei?
(Oim, sengaja mama tulis ini di blog, dengan harapan catatan ini tidak hilang dan tidak robek. (dan tentu saja karena lebih cepat menulisnya dibandingkan tulisan tangan di diary, dan jika ada orang lain yang membacanya juga, mudah-mudahan ada ibrah (pelajaran) yang bisa dipetik).

Teta,
Setelah mama menantinya selama empat tahun, kami menikah dengan upacara sederhana, dan memiliki kalian, empat orang anak, mutiara-mutiara kami yang cerlang cemerlang.

Muayad Sakit

Pada tahun ke dua kuliah di Brunei, Muayad bercerita bahwa dia dan teman-temannya yang berasal dari Brunei sendiri dan dari negara-negara ASEAN lainnya, mengikuti kegiatan amal donor darah, dan dia merupakan salah satu yang ditolak darahnya karena ditengarai mengandung virus hepetitis B.

Aku tidak terlalu paham pada penyakit itu, dan menganggap semua penyakit pasti ada obatnya. Dan pada kesempatan dia pulang pada tahun itu juga, dia menanyakan kesediaanku untuk tetap melanjutkan hubungan ini atau tidak, karena katanya, penyakit ini sulit disembuhkan dan jika kami menikah kelak, resiko penularannya sangat tinggi.

Sementara itu kulihat kondisi fisiknya sangat prima. Dia sangat sehat dan dapat melakukan segala kegiatan seperti biasa, bahkan ia sempat mendaki gunung Gede dengan kawan kami Imung dan Filly.

Dan ketika akhirnya kami menikah pada bulan November 1991, we live happily ever after :). Hingga aku melahirkan anak ke tiga dengan normal dan sehat lahir bathin, kondisi kesehatan Muayad cukup baik, meskipun kadang-kadang dia mengaku lelah.

Suatu hari di tahun pertama pernikahan kami,kondisi kesehatannya ngedrop, awalnya kupikir cuma flu biasa, tapi semakin hari dia semakin lemah.

Menurut dokter yang memeriksanya, ada masalah dengan fungsi hatinya. virus hepetitis yang sedang menguat, melemahkan metabolisme tubuhnya sehingga katanya, dia seperti berasa tidak punya tulang.

Membaca informasi yang kubaca dari buku dan internet, gejala Hepatitis B mirip gejala flu. Kadang-kadang sangat ringan bahkan tidak menimbulkan gejala sama sekali. Hanya sedikit orang yang terinfeksi menunjukkan semua gejala. Karena alasan ini banyak kasus Hepatitis B yang tidak terdiagnosis dan terobati. Gejala utama dari Hepatitis B adalah sebagai berikut:
Mudah lelah
Demam ringan
Nyeri otot dan persendian
Mual dan muntah
Sakit kepala
Kehilangan nafsu makan
Nyeri perut kanan atas
Diare
Warna tinja seperti dempul
Warna urin seperti teh
Warna kulit dan sklera mata kuning (jaundice)
Penurunan berat badan 2.5 - 5 kg

Jika keadaan demikian, tentusaja dia tidak bisa bekerja, baik di kantor atau di rumah. Dia harus beristirahat total, dan mendapatkan asupan gizi yang baik. seorang penderita hepatitis B harus banyak mengkonsumsi makanan dan minuman yang manis.

Jika sudah beristirahat beberapa hari, ditambah mengkonsumsi obat herbal dan makanan sehat, kondisinya akan membaik dan dia akan kembali segar.

Pada saat seperti itula dia akan berkata bahwa suatu saat keadaan itu akan berulang. Dan jika berlanjut, karir hepatitis B ini akan meningkat menjadi kanke hati. Dan, katanya, "jika ini terjadi, maka umurku tidak akan lama lagi,"

Ah...
umur bukan urusan kita, sergahku selalu, dan setiap penyakit pasti ada obatnya. Begitu kuyakinkan dia. Dalam kecemasan, aku terkadang menganggap pernyataan suamikiu itu hanya gurauan>

Ketika akhirnya Muayad kembali sehat,Kami akan kembali ceria menjalani hari-hari dalam berbagai kegiatan.

Di rumah, Muayad sangat family-man. Ia akan selalu sedia membantuku mengerjakan apa saja yang tak sempat aku tangani.

Membuatkan susu anak kami, membakar ikan, memandikan sampai menceboki balita-balita kami adalah hal yang biasa dia lakukan. Bahkan hampir setiap akhir pekan ada saja idenya untuk menggembirakan anak-anak, entah bersepeda, ajak mereka berbelanja ke pasar, atau piknik di hutan kota.

Suamiku bekerja sebagai wartawan dan pengajar bahasa Inggris. Selain berangkat ke kantor, dia harus mencari berita atau mewawancarai orang, yang membuatnya bepergian dengan skuternya melintasi semerawutnya kota .

Ketika dua perusahaan penerbitan tempatnya bekerja bangkrut, dia beralih profesi menjadi agen asuransi. Dia mencari nasabah sambl tetap mengajar bahasa Inggris untuk orang lokal atau mengajar bahasa Indonesia untuk orang asing.

Kadang ini membuatnya lelah sehingga dia harus pandai-pandai menjaga keseimbangan dalam beraktifitas juga dalam pengaturan pola makan.

Nah disinilah dilemanya..

Suamiku harus makan makanan yang halal dan sehat, juga anak2 dan istrinya tentunya :), Oleh karena itu dia dan aku harus bekerja agar memperoleh semua itu. Dan kami bisa bekerja dengan baik jika kami sehat.

Jika Ayad sedang sakit, dia harus beristirahat total serta tetap mengkonsumsi makanan sehat. Bila terperosok kedalam dilema ini, dia akan memilih tetap berangkat jika masih bisa melangkah. katanya:

"Paling tidak, aku akan mendapatkan salah satunya"

Nah anak-anakku..
Dengan Vespa Corsanya yang kadang ngadat, dia melaju ditengah panasnya kota Jakarta dengan bersimbah peluh dan penuh harapan demi terpenuhinya kebutuhan lahir dan bathin keluarganya.

(bersambung)

















Monumen Nasional seharusnya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia




Jika orang kampung seperti saya melewati Monas, pasti terbersit rasa bangga karena Monas adalah salah satu bukti kemerdekaan negeri ini. Didalamnya tergambar diorama perjalanan negeri ini mulai zaman purbakala hingga masa kemerdekaan.