Minggu, 04 Maret 2012

Jogja I am coming.......... (part 2)

Naik kereta bisnis ke luar kota mungkin hal yang biasa buat sebagian orang. Tapi perjalanan ini terasa spesial bagiku. Ya.. perjalanan kereta malam menuju Jogja untuk mengantar anakku belajar disana.

Diantar Wa Memen dan Cinta, aku berangkat menuju stasiun Senen, membawa perbekalan secukupnya. Teta, Fifi juga mengantarkan kami ke stasiun terdekat (Sudimara) dengan motor mereka. Perjalanan yang mendebarkan dan penuh harapan, karena terselip doa semoga manakku dapat menyongsong keberhasilan di tempat barunya nanti.

Semoga harapan yang membuncah ini tidak mengganggu konsentrasi anakku, sehingga dia dapat memahami "keberhasilan" yang kumaksud. Aku menginginkan dia berhasil menapaki setiap jejak langkahnya dengan aman dan lancar, dapat mencari solusi dari setiap persoalan hidupnya sehari-hari, baik dari sisi akademis, psikis, maupun sosialnya.

Berangkat jam 19.30 malam, kereta berjalan dengan cepat dan lancar. Perjalanan ini memerlukan waktu 10 jam; waktu yang cukup untuk mengumpulkan rencana-rencana baik buat anakku, membulatkan tekad, dan meluruskan niat. Sepanjang jalan di sela-sela lelapku, aku mereka-reka bagaimana atmosfer UGM dan Jogja dan dampaknya buat anakku, yang sejak TK sampai SMA belum pernah "keluar" dari rumah.

Sebaliknya, aku juga cukup cemas memikirkan bagaima pola pikir anakku serta kebiasaan-kebiasaan dia, yang baik ataupun yang jelek, menyiasati kondisi sosial akademis Jogja dan UGM-nya.

Aku tersenyum ketika mengingat slogan bahwa Jogja adalah kota pelajar Nasional, dimana puluhan ribu mahasiswa hilir mudik menimba ilmu di puluhan universitas yang berkualitas, namun senyumku hilang saat teringat bacaan di Kompas berdasarkan hasil survey bahwa kehidupan bebas sudah "sangat biasa" disana.Astaghfirullah, aku bergidik mengingatnya bila hasil survey itu benar. Na'udzu billahi min dzalik..

Pagi menjelang ketika kami tiba di Stasiun Tugu Jogjakarta. Sepi dan bersih. Anakku tidak berhenti tersenyum . Kami melanjutkan peralanan dengan taxi menuju rumah kos Oim yang beberapa hari lalu sudah dicarinya .

Bergegas kami sarapan dan menyimpan barang-barang kami sembarangan di kosan Oim. Aku, Cinta dan Uwak langsung belanja diantar kenalan disana; setrikaan, magic com, tikar, kertas hvs, gayung, keset... sementara Oim melakukan daftar ulang untuk Masa Orientasi.

Hufh... berpeluh kami mengangkut dan membereskan barang-barang itu. Oim asyik di kampus sampai larut malam. Sore harinya si Uwak minta diri untuk langsung pulang ke Rangkasbitung, sementara aku dan Cinta menginap.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali Oim berangkat ke kampus. Sementara kami belakangan naik becak. wah... merinding aku melihat kampus yang begitu besar dan luas. Di lapangan sudah berkumpul ribuan mahasiswa dari berbagai daerah, senior dan junior. Si Senior menampilkan berbagai atraksi selamat datang; Marching band, silat, terbang layang dan lain-lain, si Junior berbaris melingkari lapangan itu, menonton pertunjukan yang sangat bagus dan terencana.

Menurut Mc, Semua penampilan itu adalah presentasi dari ekstra kurikuler Kampus untuk menyambut orang tua mahasiswa baru, sekaligus menawarkan beragam eskul itu untuk dipilih sang mahasiswa.

UGM benar-benar menyambut kami, orang tua dari daerah-daerah ini dengan baik. Setelah menonton pertunjukan tadi, kami digiring menuju hall sesuai fakultas anaknya masing-masing. Disana para pengabdi ilmu, mulai dari pustakawan, pengajar, sampai rektor diperkenalkan. Ada juga testimoni dari orang tua mahasiswa plus saran dan kritiknya, serta cerita seorang tukang becak yang anaknya sudah lulus jadi dokter. Rektor UGM memberikan kata sambutan dan mengumumkan agar mahasiswa mengajukan beasiswa bagi mereka yang memerlukannya.

Sekitar jam duabelas, acara perkenalan usai. Haa.. Cinta mulai merengek minta makan, begitu juga perutku sudah menagih isi. Panas menyergap diluar gedung. Aku keluar untuk kembali ke kosan Oim, dan cari makan siang.

Eh.. ternyata acara belum selesai :(
Kami diminta masuk ke ruangan lain yaitu ke gedung kelas masing-masing... wah bagaimana nih... perut lapar... (sempat sebel juga sama panitia).Tapi pikir2, kapan lagi aku kesini... akhirnya aku manut saja, ikut iring-iringan orang tua lain menuju tempat masing-masing. Siapa tahu juga ada info penting, ya kan?

Sesaat menuju pintu ruangan, kami mencium aroma makanan yang begitu menggoda, menimbulkan air liur si pelapar ini, dan ternyata sumber aroma itu ada didalam ruang kelas anak-anak kami, terhidang dengan rapi dan cukup banyak. Gulai ayam panas yang (mungkin) khas Jogja, serta ketupat lengkap dengan keupuk dan bawang gorengnya. Minumannya jus jeruk dan jambu yang sejuk dingin, terlihat dalam toples besar transparan menyebulkan butiran-butiran uap es diluar tekonya. Ah... mungkinkah itu buat kami?

Panitia berbatik-batik aneka warna tersenyum menyambut kami dipintu.. "Monggooo... Silakan... selamat makan ibu dan bapak" kata mereka ramah.

Heh? bener nich? Tidak menunggu lama, kami mengantre prasmanan yang lezat itu.. wah.. bagiku ini merupakan kejutan-kejutan yang nikmat.

Setelah selesai, aku shalat di mushalla terdekat, lalu sebentar ikut sesi perkenalan jurusan. Setengah menyesal aku dan Cinta kabur karena harus ke pasar lagi membelikan sepeda buat Oim kuliah.

Ditemani mbak Rini yang pernah mengajar satu sekolah denganku, kami mendapat sepeda UNITED seharga 1,3 Juta di pasar. Eh.. belanjaku banyak juga yah? padahal kemarin sdh banyak juga belanja berbagai barang buat Oim doang. tapi alhamdulillah tuh cukup, dan aku merasa ringan aja, karena aku yakin itu rejekinya Oim. Untuk yang laen, cari lagi.. masih banyak di Alloh, hehehe.

Do you know pemirsa? ga ada losbak yang mau bawa sepeda si Oim. Gowes aja.. kata si ngkoh pedagang.. kan ada rodanya?! huh enak aja, bukannya dianter.. kataku menggerutu. Sebenarnya aku bisa naek sepeda, tapi dengan Cinta ? di kota gudeg yang belum aku kenal? akhirnya kami naik becak dengan sepeda buesar diiket ke depan becak.

Bayangkan betapa beratnya si kakek becak mengayuh kami dan sepeda, menyusuri jalan yang kadang ada turun nanjaknya. wesh.. wesh... walhasil, aturan sepuluh menit sampei, mungkin kami baru tiba setelah setengah jam berbecaksepedaria.

Alhamdulillah.................. (narik nafas)

Semuanya beres. setelah mandi sore, kami langsung ke stasiun Tugu untuk kembali ke Jakarta









Kamis, 02 Februari 2012

Melaju Bersama Bebek

Seperti  biasa pagi itu aku mengejar kereta pagi, jam 06.00. alhamdulillah dapat kereta ekonomi tepat pada   waktunya. Kereta padat penumpang. Kami berebut masuk,  mendesak orang-orang yang berdiri di pintu.

"Ayo doong masuuk ke dalam.. biar kita juga bisa.." kata ibu-ibu berpakaian rapi di depanku. Wangi parfum menyebar dari kerudungnya yang berwarna ungu. Orang-orang yang sebelumnya sudah berada di pintu kereta itu berusaha bergeser walaupun hanya satu dua senti .

"Terus dong.. ayo mama.. maju!! kata anakku di belakangku sambil mendorongku. Berjejal-jejal kami berusaha masuk. Pintu di persambungan kereta itu sudah tidak menyisakan space untuk diinjak, sebenarnya. Tetapi ajaib, tetap saja masih bisa memuat orang begitu banyak.


Bukan hanya itu, rupanya, selain  penumpang, ternyata di pintu itu juga ada 2 (baca : dua) kurungan bebek yang masing-masing memuat sekitar 7 sampai sepuluh ekor. Dengan semangat "pantang menyerah", mati-matian kami berusaha melewati kurungan bebek yang terbuat dari bambu itu .

"Injak aja, bambunya kuat kok!" teriak seseorang, yang mungkin pemilik bebek-bebek itu. Hiruk-pikuk dan sumpah serapah  manusia-manusia pencari berkah Tuhan itu bersatu padu, berirama merdu seperti lagu-lagu simfoni Bethoven.

Kuiiiiiiiiiiiiik... gujes..gujes.....

Kereta mulai bergerak.. puji syukur pada Tuhan karena kami sudah didalam. Beberapa penumpang yg dipintu tadi mengikhlaskan sebelah kakinya keluar dari pintu, sambil sebelah tangannya bepegangan ke atap pintu kereta, suatu posisi yang berbahaya sebenarnya.


Namun mereka tak peduli. Rasa syukur dapat terangkut kereta mengalahkan rasa takut. Yang penting sampai ke tujuan.

Aku berdiri hanya setengah meter-an dari batas pintu, persis disebelah kurungan bebek tadi, berdekatan dengan ibu kerudung ungu dan seorang anak SMK. Anakku berdiri agak jauh dariku, cemberut, mungkin membayangkan kalau-kalau ia telat sampai di sekolahnya nanti.

Lantai kereta yang kuinjak digenangi air bebek. Si gadis SMK mengangkat rok abu-abunya. Ibu ungu menutup hidungnya. Aku memejamkan mata, merasa heran kenapa aku tumben, tidak mengeluh. Aku berkomat-kamit berdoa penuh syukur karena tidak harus menunggu kereta berikutnya. Mungkin karena sudah biasa menderita (ehm), aku tidak terlalu galau dengan keadaanku di pagi itu.

Everything is ok now. kereta melaju dengan cepat, berderak-derak, mengoncang-goncangkan kami yang sudah mulai anteng. Mataku mulai mengelana ke seluruh penjuru gerbong. Di kolong kursi-kursi penumpang,ternyata masih ada kelompok bebek-bebek lainnya, tanpa dikurung. 


Diikat kakinya satu sama lain, mereka diam, nurut, dan anteng.. seperti kami para penumpang kereta yang kini merasa safe didalamnya; diam, nurut, dan anteng, menanti takdir di terminal yang akan kami tempuh kelak. Begitulah tabiat khas kami orang Indonesia; cepat memaafkan keadaan, mudah ditenangkan.

Begitupun ketika aku naik tadi, aku melihat orang-orang yang awalnya panik, khawatir, dan terlihat saling menyikut, kemudian menjadi pasrah dan  tenang; mereka  duduk berjejer-jejer dan berdiri berjejal-jejal diatas kereta kelabu itu,  memburu sekeping-dua keping uang recehan melalui pekerjaan halus atau kasar di kota metropolitan. 


Mereka duduk dengan antengnya, sambil mengobrol dan merokok; bahkan bercanda-canda. Tak ada keluhan, tak peduli dengan cuaca, atau bahaya tegangan tinggi kabel listrik KRL sepanjang  rel kereta Serpong-Jakarta itu.

Selop high heelsku (you know what? in such a train aku pakai sendal semacam itu?) menyelamatkan celana panjang seragam ngajarku dari air-air bebek yang menggenang  itu. Jangan tanya aromanya. Yang pasti, ini akan menghairankan orang-orang yang belum pernah naik kereta seperti ini jika aku ceritakan.

Kebayoran Lama. 


Tibalah saatnya aku dan anakku turun. Tiba-tiba saja, secepat kilat si bapak pemilik bebek mengangkat bebek yang diikat-ikat tadi, mendahului kami menerobos kepadatan penumpang dengan tetesan air bebeknya, menyisakan aroma khasnya, dan sangat mungkin sedikit banyak  menyipratkan tetesan dari kaki-kaki si bebek yang lembut  itu, tak peduli pada kami yang yang harus berpenampilan bersih di tempat belajar atau bekerja nanti .

"Apa peduliku?" mungkin itu kata si pemilik bebek. "Aku kan cuma mau cepat turun ke pasar menjual bebek-bebekku" !!!!).

Penumpang yang ada di belakangnya,  yang juga mau turun, tentu saja protes. Mereka berteriak-teriak menyuruh bapak bebek untuk segera lompat. Didepanku si ibu kerudung ungu  berusaha melewati kurungan bebek yang cukup lebar itu. Roknya disingkapkannya. Dorongan dari belakang semakin mendesakku, aku oleng, menabrak si ibu kerudung ungu didepanku. Tapi si ibu kerudung ungu malah berhenti melangkah, dan hampir saja jatuh terjerembab ke kandang bebek..

Kami semua kuatir kereta segera beranjak. sementara si ibu ungu masih sibuk memasukkan tangannya ke dalam kandang bebek, mengais-ngais isinya. 


"Ngapain sih bu?" kata bapak-bapak di belakangnku, meninggikan kepalanya melewati kepalaku, menghembuskan aroma entah bau jengkol atau pete atau kombinasi aroma keduanya.

Dengan kesal dan malu si ibu menjawab, "Sendal saya, masuk ke kurungan bebek!"


Petugas stasiun meniup pluit tanda kereta harus segera melanjutkan perjalanan. PENUMPANG YANG MAU TURUN MAKIN PANIK.

"Woyy... Cepet!!"

Hup.. Ibu yang malang itu  berhasil mengeluarkan selopnya lalu segera turun setengah melompat dari pintu,disusul bapak bebek, kandang bebek beserta isinya , aku, dan puluhan penumpang dibelakangku tadi.


Huh hampir saja aku kebawa kereta!!! (Cape dech!)  


Salam buat Oim si (calon) pemilik resto Bebekofi

Senin, 23 Januari 2012

Apa dan Ibu




        Ini cerita tentang seorang ayah. Bukan, bukan ayah saya sendiri, tapi ayah biologis orang lain, yang saya anggap ayah motivasi, karena beliau menginspirasi sebagian dari kehidupan saya, walaupun bisa dipastikan hal ini beliau tidak sadari.

        Kami memanggilnya “Apa”, sebuah panggilan seorang anak dalam bahasa Sunda kepada ayahnya.

       “Apa” juga bisa berarti kependekan dari Bapak, atau mungkin juga panggilan kesayangan seorang anak terhadap ayahnya. Kawan mau tahu? Wajah Apa sejuk, smily, dan ramah pada setiap orang yang dikenalnya.

       Apa memiliki 6 orang anak; Ali Nurdin, Mohammad Zen, Yoyoh, ‘Ai, Nunung, dan Asep. Semuanya sehat, cerdas dan menonjol di sekolah masing-masing.

      Dan Ibu, istri Apa, adalah seorang ibu rumah tangga, wanita desa penyabar dan sederhana, namun amat cerdas. Kecerdasan itulah yang nampaknya menurun pada keenam putera-puteri mereka, yang mengantarkan mereka pada pengalaman belajar mereka berikutnya.

       Apa ibu, dan keluarga tinggal di Kacapi Amis, sebuah kampung di kecamatan Menes, Pandegelang, Banten bagian Selatan. Kampung ini didominasi hasil tanaman berupa tropical fruits yang tak henti-hentinya berbuah, bergantian, dari musim ke musim, memenuhi kebutuhan keluarga Apa dan penduduk kampung lainnya.

        Dikelilingi pelbagai macam pohon tropis yang rimbun tadi; melinjo, salak , durian, nangka, jambu air, kesemek, kelapa, lobi-lobi, kacapi, serta tanaman bunga-bungaan olahan tangan ibu, rumah Apa dan Ibu sangat sejuk dan asri. 

        Jika musim buah tiba, Apa dan Ibu  memetik hasil kebun dan menjadikannya sebagai  bekal untuk  Yoyoh di Ciputat, atau Ali Nurdin di Bandung. Mungkin berkat buah-buahan karunia Allah ini juga anak-anak apa sangat cerdas di sekolahnya.

       Apa memanggil  anak-anaknya dengan panggilan sayang; "nu kaseeeep,  nu geuliiis, nu pinteeer, sehingga anak-anak itu terlihat sangat dekat dengannya; merasa tersanjung dan tersemangati untuk benar-benar menjadi kasep, geulis dan pinter. (Ceuk nabi tea geh, kata-kata adalah doa/ you‘re what you say !)

      Sepengetahuan saya, Apa jarang sekali marah, entah itu sifat dasarnya, atau karena saya belum pernah melihatnya saja. Mungkin apa akan marah hanya kalau anaknya gupak dina leutak, sampai lupa makan siang , atau kalau anak lelakinya main dan pulang larut malam.

        Di pagi hari apa bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Agama Kecamatan, Lalu di sore harinya apa memeriksa kebunnya yang cukup luas yang terletak tak jauh dari rumahnya.

       Jika salah seorang anak Apa pulang dari tempat kuliahnya di Depok, Ciputat, atau Bandung, nun jauh puluhan kilometer dari Kacapi Amis, apa akan menyambut mereka dengan senyum lebar, mendengarkan celotehan mereka, dan memberi komentar dengan bijaksana.

Ibu pandai memasak dan senang sekali menyapu halaman rumahnya yang luas itu, sehingga rumah panggung mereka yang teduh itu makin asri di tangan ibu dengan rerimbunan bunga dan pepohonan, membuat anak-anaknya atau siapa saja yang datang ke rumahnya merasa betah tinggal berlama-lama.

Begitulah; lingkungan, iklim, dan romantisme kampung sangat mungkin membuat penghuninya merasa nyaman dan aman. Untuk sebagian  orang, keadaan ini  dapat menina-bobokan dan melenakan; berselimut sarung, sambil siduru di hareupeun hawu, membuat sebagian dari kami, orang kampung malas beranjak dari comfort zone semacam itu. 

Memiliki sumber pangan  yang cukup, berpendidikan standar dan situasi kampung yang aman tentram,  kadang menjadikan para penduduk berpuas diri . It seems that life is simple, easy and joyful. 

Tapi tidak demikian dengan keluarga apa. Terpenuhinya basic needs mereka yakni sandang, pangan, dan papan, tidak membuat mereka bangun telat  dan terlambat ke sekolah. Apa dan ibu bahkan memiliki pemikiran  ke depan jauh sebelum istilah Visioner dikenal seperti sekarang ini.

Pemikiran dan mimpi-mimpi apa dan ibu tidak sesederhana kehidupan mereka sehari –hari yang dimulai dengan nasi gonjleng atau gogodoh pisang tanduk. Cita-cita Apa dan Ibu untuk mengantarkan anak-anaknya menuju ke sekolah yang tinggi membangkitkan mereka dari tidur nyenyak di subuh yang dingin nan nyaman itu.

Menapaki jalan tanah atau berbatu, mereka berlari dengan senang hati menuju sekolah. Kadang jika hujan deras mengguyur, jalanan menjadi licin  berlumpur kental, anak -anak itu tetap riang melangkah dibawah payung daun pisang atau daun kajar-kajar, sambil mengangkat tinggi-tinggi rok panjang atau celana seragamnya menuju sekolah, melewati jarak yang tak kurang dari dua kilo meter jauhnya.

Pembaca, 

Lihatlah beberapa tahun kemudian.  Semangat apa dan ibu itulah yang mengobarkan semangat  Ali Nurdin menyelesaikan studinya di jurusan Hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, serta S2-nya di Universitas Indonesia, dan sekarang S3 di Unpad (lagi). Wow.... Subhanallah... It is awesome !!

Moh. Zen, si kasep dan jenaka putra apa yang kedua, setelah lulus SMA melanjutkan kuliah di jurusan ikhfa, eh.... IPA_ IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan S2 Manajemen di sekolah papan atas PPM. (Excellente...)

Sekarang dia bekerja sebagai salah seorang tenaga muda yang kreatif , dan diandalkan oleh orang-orang tua di Departemen Agama Pusat. Selain juga megabdi sebagai pendidik di perguruan Tinggi UNMA, serta aktif dalam beberapa organisasi sosial.

Putri pertama Apa, atau anak ketiganya; Yoyoh, sudah berani jauh dari orang tuanya sejak SMA. Ia bersekolah di MAN –MP (Madrasah Pembangunan) Ciputat dalam usia yang masih belia. Bayangkan, dalam usia semuda itu (sekitar 15 tahun), ia sudah berani nge-kost bareng dengan mahasiswi UIN. Tidak heran jika ia jauh lebih cepat dewasa dan tahu banyak hal dibandingkan gadis kecil lain seusianya.

Putri kecil-chubby- yang pemberani itu kini berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang soleha bagi suami dan kedua putranya, sambil melanglang buana ke berbagai daerah dan mancanegara, karena ia juga sibuk  ngurusi sekolah-sekolah terpencil, dibawah naungan AUS_AID, sebuah organisasi nirlaba dibawah kedutaan Australia tempat ia bekerja.

Sebelumnya, Yoyoh juga pernah bekerja di perusahaan besar Jepang, Sony, setelah menamatkan kuliahnya di jurusan Administrasi Niaga Universitas Indonesia, sebelum ia pindah kerja ke tempat yang ditekuninya sekarang ini sampai ke level Project –Manager.

Sodara, semoga saya tidak berlebihan dalam menceritakan  sebagian  kisah apa dan Ibu ini. Saya bahkan belum menulis tentang  ‘Ai, ibu bidan yang kini tengah menambah ilmu di Universitas Indonesia jurusan Administrasi Kesehatan Masyarakat. (bener nggak Ai?)

Putri ke empat Apa ini mengabdikan dirinya untuk kesehatan ibu, bayi, dan balita, di RS Serang, ibukota provinsi Banten. Semoga di tangan teh Ai, anak-anak golden agers itu menjadi generasi yang sehat, tangguh dan soleh-soleha.

Untuk ukuran masyarakat Menes, bahkan kota Pandegelang, achievement Apa dan Ibu ini sungguh tidak dapat dikatakan sederhana, seperti halnya sifat ibu dan Apa naturally. Bisa jadi dulu apa dan ibu tidak membayangkan anak-anaknya berangkat sejauh itu ke berbagai tempat-tempat dimana mereka menemukan sumber ilmu yang hebat . 

Yang Apa dan ibu lakukan hanyalah memberikan yang terbaik buat anak-anaknya.

Apa rahasia Apa dan ibu dalam mendidik putra putrinya? Bagaimana membangun eagerness dan curiosity anak-anak itu ? Bagaimana apa dan ibu mengatasi lika-liku  dalam mendidik anak-anaknya?. Itulah rahasia yang ingin penulis ketahui. 

Dalam usia apa dan Ibu yang sekarang sudah tidak muda lagi, kiranya penting bagi kita untuk mengetahui sejauh mana upaya mereka dalam membesarkan  anak-anaknya dulu, sehingga kini mereka  mampu berkiprah membantu masyarakat yang memerlukan sesuai bidangnya masing-masing..

Demikian semoga bermanfaat.. mohon maaf jika ada kekeliruan .. :)