Senin, 18 Februari 2013

Mau hidup bahagia? Islam adalah jawabannya

Banyak hal -hal sepele yang membuat manusia merasa tidak bahagia. Bangun terlambat misalnya, seseorang akan berkata : "Sial ! seharusnya aku bangun setengah jam yang lalu..." Dengan tergopoh-gopoh ia melakukan rutinitas pagi dengan hati yang kesal, menggerutu, bahkan memaki dirinya sendiri. Terlebih jika ada kegiatan yang mengharuskan ia datang lebih awal. Kesalahan memang kerap dilakukan oleh manusia, misalkan

Kamis, 07 Februari 2013

Pak Sopir

Roti isi keju kesukaanku baru kumakan separuh ketika dentang lonceng menunjukkan jam enam tepat. Aku bergegas minum jeruk hangat buatan Pok Hasanah yang menurutku terlalu manis pagi itu. Roti sisa segera kubungkus dengan tisu dan akan kuhabiskan di mobil nanti.

Pak Hasan, sopirku sudah siap di depan pintu. "Mari Neng Lana, pak hasan bantu", katanya sambil mengulurkan tangan dengan maksud meraih tas gendongku yang lumayan berat itu.

"Makasih pak, biar aku saja yang bawa", tolakku sambil membetulkan letak tas. Pak Hasan tergelak. "Tumben nih.." ledek pak hasan sambil masuk ke mobil. Aku cemberut, pura-pura marah, lalu duduk disamping pak Hasan setelah menutup pintu.

 Memang selama ini aku selalu menyerahkan semua barang bawaanku padanya; mulai dari tas sekolah, sampai tempat minum dan sesekali pianika atau tongkat pramuka, dan dengan senang hati dan telaten, ia biasanya meletakkan satu persatu barang-barangku ke bagasi, sementara aku sudah duduk manis di kursi belakang. Ketika jam pulang sekolah, biasanya dia sudah menungguku di depan pinu kelas dan menyambut tasku dengan gesit. Tapi kali ini aku mau tampil beda. 

  Mobil melaju dengan tenang di jalan kompleks perumahan kami yang tenang dan rimbun, lalu menikung ke kanan menuju jalan raya. Kemacetan lalu lintas di kotaku sudah terbiasa buatku, sehingga aku tidak merasa bahwa itu adala sebuah masalah. Terlebih Pak Hasan selalu siap dengan cerita terbarunya setiap saat.

Diiringi musik instrumental dari radio mobil, pak Hasan mengajakku ke masa lalu dengan putri-putri raja dan pangeran ksatria, atau tokoh-tokoh dunia seperti walter Disney atau Mathin Luther King. Atau dilain waktu, ia berkisah tentang para nabi dan rasul yang menyelamatkan suatu kaum, atau kisah-kisah inspiratif orang-orang cacat yang berprestasi, sehingga satu jam perjalanan dalam kemacetan tidak terasa buatku; tahu-tahu aku sudah sampai di sekolah.

Hari ini, aku tak sabar mendengan cerita lanjutan Nabi Yusuf yang diceburkan ke sumur oleh saudara-saudaranya. Dengan semangat pak hasan melanjutkan cerita itu, seolah-olah dia itu adalah ayahku, yang ingin menina bobokan aku. Tapi sungguh , aku tidak pernah tertidur di mobil mendengarkan ceritanya. Suara pak Hasan turun naik, kadang perlahan, kadang menggelegar sesuai isi ceritanya. Bahkan terkadang aku harus mencondongkan badanku ke arahnya agar terdengar suara bisikannya.

"Nah, begitulah akhirnya, Yusuf pun menjadi Raja di Negeri Mesir...". pungkasnya, tepat ketika ia mengerem mobilnya perlahan di depan sekolah. Aku turun.

"Eh, neng... ini ada titipan uang jajan dari ayah tadi pagi. Lima puluh ribu!" teriak pak Hasan ketika aku bergegas menuju gerbang sekolah.

"Simpan saja dulu Paaak!" kataku sambil berlari, kuatir terlambat masuk ke kelas. Pak Hasan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berlalu.

"Aaaaah..." aku berdesah lega. Aku belum terlambat. Bu Umi belum tampak di kelas. Tapi teman-temanku sedah datang semua, kecuali Darryl yang sakit sejak tiga hari lalu. Teman-temanku mengerubungiku. Mereka menagih kelanjutan cerita nabi Yusuf yang tertunda kemarin. Aku baru menyelesaikan satu kalimat ketika bel berdentang, dan kami duduk dengan tertib.

Ketika istirahat tiba, teman-temanku berhamburan keluar. Mereka jajan di kantin sekolah. Aku membuka bekalku sepotong roti tadi pagi, plus dimsum dan puding yang disiapkan mpok Sanah di tas bekalku. Aku tak merasa perlu jajan karena untuk makanan kecil, aku sudah membawa bekal. Belum lagi nanti jam makan siang ada nasi katering. Jadi aku merasa heran dengan sikap ayah yang selalu menitipkan uang jajan pada pak Hasan.

Di suatu kesempatan aku pernah menanyakan pada ayah seraya menjelaskan bahwa aku tidak memerlukan uang jajan, apalagi dengan jumlah sebesar itu. Sambil tersenyum dan mencubit pipiku ayah menjawab;

"Buat jaga-jaga.. siapa tahu anak ayah sangat memerlukannya". Setiap akhir pekan Pak Hasan melaporkan kejadian-kejadian penting pada pada ayah, termasuk uang jajanku yang utuh. Tapi ayah menjawab serupa denganku pada pak Hasan agar ia menyimpannya saja dulu.

Ayahku sangat sibuk sehingga aku jarang bertemu dengannya. Ia bekerja di lepas pantai dan tak jarang ia menginap di pengeboran minyak itu. Mamaku sudah tiada sejak usiaku enam bulan, sehingga aku tinggal berdua saja dengan ayah, dan dengan mpok Sanah di pagi dan siang hari. Ayah sangat sayang padaku, tetapi dia jarang sekali bercerita. Bahwa aku juara bercerita di sekolah pada hari Ulang tahun sekolah tahun lalu, itu adalah karena pak Hasan tak pernah sekalipun alpa menceritakan kisah-kisah menarik padaku, baik di perjalanan ataupun saat hari Sabtu atau Minggu.

Tak jarang pak Hasan mengajakku ke toko buku dan ketika pulang, aku membawa sekeranjang buku yang segera kubaca satu-persatu. Aku boleh memilih buku apa saja yang aku suka, dan pak Hasanlah yang akan membayarnya. Ketika kutanya uangnya dari mana, ia hanya menunjuk boks di sebelah persneling dekat tempatna mengemudi. Aku senang menulis dan salah satu tulisanku sedang di edit oleh penerbit. Pak Hasan mengajariku bagaimana cara menulis cerita dan puisi.