Selasa, 16 April 2013

Yoyoh Hulaiyah Hafidz

Aku mengenalnya saat aku menjadi panitia Ospek di sekolahku, Perguruan Mathlaul Anwar Menes, Banten. Saat itu aku kelas dua Madrasah Aliyah (SMA) dan Yoyoh baru akan masuk Madrasah Tsanawiyah (SMP). Kedua tingkatan sekolah di situ menggabungkan acara perkenalan siswa tersebut sehingga aku mengenal Yoyoh di hari pertama ia masuk. Ia jatuh pingsan saat upacara pembukaan Ospek karena kelelahan dan belum sarapan.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa sampai akhirnya aku kuliah di IAIN Ciputat, Jakarta, bersama-sama dengan beberapa teman dan juga  M. Zen, kakak kandungnya.

Tahun ketiga atau semester 6 kuliahku, Yoyoh menyusul kami  ke Ciputat. Saat itu ia baru lulus SMP dan akan melanjutkan ke MAN  Pembangunan Ciputat, suatu langkah yang cukup berani menurut pemikiranku, mengingat ia sangat belia pada saat itu.

Ia mungil, cantik dan ceria. Berkulit cerah dan rambut hitam lebat, ia nampak lebih dewasa dari usianya, berbeda sekali dengan keadaannya 3 tahun sebelumnya. Segera ia dapat beradaptasi dengan kami, para mahasiswai/i, yang usianya  sangat  jauh  dengannya, bahkan ia tinggal bersama kami, di kontrakan para mahasiswi. 

Lulus dari MAN Pembangunan (semacam Labschool-nya IAIN), Yoyoh diterima kuliah di jurusan Administrasi Niaga UI. Sementara itu aku sedang merampungkan tugas akhirku di IAIN. Skripsiku rada ngaret karena aku kurang rajin berkonsultasi dengan dosen pembimbingku. Selain itu, perbaikan-perbaikan skripsi yang ditulis manual membuatku harus mengulang mengetik dari halaman awal.

Suatu hari, Yoyoh melihatku mengetik skripsi dengan mesin tik brother dan aku lambat sekali mengetiknya. Ia mengambil alih pekerjaanku. “Sini aku ketikin!” katanya. Karena Yoyoh kuliah di jurusan yang ada kata administrasi-nya, pastilah di kelas ada pelajaran  mengetik, pikirku. Ia mampu mengetik sepuluh jari!

Tanpa bimbang ia menawariku mengetikkan skripsiku sampai selesai. Tentu dengan sangat senang hati aku menerima special offer itu. Dengan sabar ia menunggu bab demi bab skripsiku untuk dituliskan olehya.

Free of Charge !!

***

Tahun 1990 kala itu. Komputer mulai merambah kios-kios kecil di jalan Pesanggrahan sebelah kampusku, lalu secara sporadis bermunculan rental-rental komputer yang ramai disesaki para mahasiswa. Lagi-lagi Yoyoh menawarkan kebaikannya untuk memperbaiki tulisan skripsiku.

"Enak teh, benerinnya ga perlu pake tip-ex" katanya sambil menarik kertas-kertas di tanganku tanpa menunggu pertimbanganku yang nggak enak hati. Membuat aku terbengong-bengong. Aku tidak mengerti mengapa ia begitu baik. Hiks.

Sepertinya, belajar adalah hobinya. Sambil kuliah, ia kursus bahasa Inggris di IEC Pondok Pinang  dan  sangat enthusiastic menunggu Sunday Meeting, di mana ia dan teman-temannya berdiskusi tentang berbagai topik. Aku yang sudah ikut LIA Basic 4 ga ada apa-apanya dibanding Yoyoh. Ia sangat confident berkomunikasi dalam bahasa Inggris, dan ia kutu buku, sehingga buku-buku berbahasa Inggris pun dengan mudah dipahaminya.

Entah bagaimana cara apa dan Ibu (orang tuanya) mendidik Yoyoh. Pada saat remaja, kala teman-teman sebayanya mulai senang dengan mode atau gaya hidup terbaru, ia bahkan senang mendengarkan acara-acara radio yang "serius", seperti diskusi interaktif di Trijaya FM (sekarang Sindo Radio), atau membaca berita politik atau wirausaha.

(bersambung)

Rabu, 10 April 2013

Kisah Si Kopi Jahe

Kopi jahe itu kudapatkan sebagai oleh-oleh dari orang tua murid saat aku dan beberapa teman guru menengok anaknya yang sakit di rumahnya. 

"Ini bukan kopi jahe warungan", kata papa anak itu. "Ini kopi jahe asli buatan Palu yang saya beli saat dinas kesana" 

Keesokan harinya kubawa si kopi jahe ke sekolah tempatku mengajar. "Saat penat setelah mengajar, pasti segar minum kopi jahe" pikirku dengan riang. Kopi jahe kuselipkan dengan aman diantara dompet, payung, beberapa buku Reader Digest dan kertas-kertas struk atm dan tagihan asuransi didalam tasku.

"Assalamualaikum Ola, Assalamualaikum kakak!!" teriakku sambil naik ke motor yang dikemudikan anakku, Teta, yang duduk di kelas 2 SMK menuju stasiun kereta api. Motor Teta keluar gang, dan meluncur di jalan raya dengan kecepatan sedang. Ketika sampai di stasiun, kereta yang biasa ditumpangi kami sudah menunggu. 

Terburu-buru kami mengantri karcis. Kusuruh Teta duluan naik kereta ekonomi yang sudah penuh sesak itu. Setelah mendapatkan karcis, kukejar Teta yang sudah keburu masuk gerbong. Aku berhasil memberikan sebuah karcis padanya, namun kereta itu sudah mulai bergerak perlahan. Aku berusaha masuk, namun petugas penjaga mencegahku; "Jangan bu !! bahaya!!" aku menurut, dan membiarkan kereta api dan anakku berangkat duluan. Tak apa, hiburku pada diri sendiri. sepuluh menit lagi toh akan ada kereta ekonomi. 

Memang aku akan telat masuk kerja, tapi anakku selamat dari hukuman gurunya. Akupun menarik nafas lega. Dalam kebisuan ditengah lalu lalang manusia-manusia pengejar kereta, aku teringat lagi pada si kopi jahe. Aku ingin melihatnya dan memastikan dia baik-baik saja. Aku membuka tasku. Ia menyembul, mengintipku dengan tenang diantara serakan benda-benda lainnya. 

Oya, aku harus menyiapkan ongkos angkot. Kubuka dompet. Hah? tidak ada uangnya? waduh, bagaimana ini? setelah turun dari kereta nanti, aku harus naik angkot satu kali, dan ongkosnya tiga ribu rupiah. Aku membuka setiap kantong kecil-kecil di dompetku yang besar. Hanya ada kartu- kartu atm, beberapa diantaranya expired, KTP, NPWP, NUPTK, dan foto mendiang suamiku yang tersenyum manis. Aku panik. Kereta ekonomiku tiba. 

Senyuman manis foto suamiku tidak mampu menghiburku. Aku harus memutar otak untuk menyelamatkan harga diriku didepan sopir angkot. Aku takut dia menuduhku penumpang gratisan, atau membentakku dengan kata-kata kasar. Kereta terus melaju. Semakin dekat dengan stasiun tujuanku, kecemasan terasa semakin menyesakkan dadaku. 

Turun dari kereta, aku berlari menuju ATM Bersama, sekitar 300 meter dari stasiun. Melewati pedagang kacang-kacangan, sayuran segar dan buah-buahan lokal, aku berjanji dalam hati, jika aku berhasil dari ATM nanti, aku akan membeli kacang tanah barang sekilo atau dua dan akan merebusnya di sekolah untuk dimakan bersama teman-teman guru. 

Selain itu aku akan berinfak lima ribu untuk pengamen jalanan. Hehe, hal yang jarang kulakukan memberi persenan sebesar itu. 

Aku masuk ke gerai ATM bersama . Pertama kucoba si kartu merah ATM CIMB Niaga, 

"Sorry," katanya "You have insufficient fund". Uh!

Aku terhenyak. Lalu kucoba atm lain, Mandiri. Sepertinya aku masih mempunyai saldo disana. Kubuka balance inquiry, yes! masih ada Rp. 130.000. Uang pecahan ATM itu seratus ribu. Bismillah, kucoba dengan harap-harap cemas, dan withdraw.

Lagi-lagi, "Maaf, saldo anda tidak mencukupi" aaah.. gimana sih? Mosok aku tidak boleh mengambil uangku sendiri. kan 130 ribu itu juga uang!!

Tapi.. aha.... masih ada harapan terakhir, ATM BRI, dimana gajiku ditrasnfer kesana. Semoga kali ini berhasil!

"Your card has been exceeded" katanya menyebalkan. Aku bahkan tidak tahu artinya apa itu. Yang jelas, aku tidak bisa menarik sisa uangku.

Dengan gontai aku berjalan kembali ke tempat semula. Aku sedah berusaha, tapi ternyata tidak berhasil. Aku menepi, membuka tas, kembali menelusuri kantong-kantong didalam tasku. Kutemukan 3 logam Rp 500-an, satu Rp 200-an, dan satu Rp 100-an. Aku hitung semuanya. Jumlahnya Rp 1800,- masih kurang Rp.1200,- 

Dengan nekat aku masuk ke angkot D-01 jurusan Ciputat, memeras otak untuk memulai percakapan dengan si sopir. "Aal iz well.. aal iz well.." kuusap tanganku ke dadaku. Aku mengintip raut sang sopir dari kaca spion di depannya.

Lumayan berwajah ramah, anak muda bermuka lonjong dan berambut jogor itu bersenandung sambil mengetuk-ngetuk dashboard. 

"It's a good start" pikirku. Aku bergerak, duduk mendekat di bangku kosong di belakangnya. 

"Bang!" kutepuk bahunya. 

"Ya?!" ia menengok terkejut, berhenti bersenandung. Aku buka tas, kukeluarkan uang 1800-ku, dan.. subhanallah.. ini dia penyelamatku, kopi jahe dari Palu.

"Maaf, saya ket..tinggalan dompet (bohong). Jadi ongkosnya kurang!" 

"Hohoho... gapapa buu" katanya tersenyum bijak. 

"Tapi ini ada kopi jahe buat abang, lumayan buat ngopi siang-siang..."

"Ah ibu.. tidak usah repot-repot bu.." serunya tersenyum lebar sambil menerima kotak si kopi jahe. 

***