Selasa, 12 November 2013

pesan Mama

Warisan



Hai anak-anakku
aku punya sepetak sawah dan sebidang kebun
aku punya sebuah rumah dan lemari jati
aku punya rekening tabungan dan polis asuransi
aku punya kasur, bantal, kipas angin dan piring gelas


aku juga punya sedikit ilmu
aku punya keinginan
aku punya harapan
aku punya impian


Oh..
Aku juga punya utang
Utang uang
utang janji
utang cita-cita dan impian


aku ingin mewariskan semua itu pada kalian



Sebelum sawah dan kebun  kering
atau terbengkalai bahkan habis oleh pembangunan..
tanamilah dan peliharalah...


itu adalah modal
hasilkan bekal dan oksigen
makanlah dan berbagilah


Rumah kita
adalah tempat berlindung dari panas dan ketakutan
Bersihkan dan peliharalah sebelum ia roboh


jika kalian dewasa nanti, ajaklah anak yatim tinggal disini


Anak-anakku
Ilmu yang sedikit kumiliki
tambahilah sebanyak-banyaknya
ilmu yang banyak tak akan memberatkan






Kebaikan yang secuil kulakukan
perbanyaklah
Niscaya banyak orang yang memetik manfaat darimu


Harta yang tak seberapa
ilmu yang alakadarnya
Kebaikan dan impian yang belum terlaksana
ingin kuwariskan kepadamu


Jadilah pejuang-penjuang Islam
Kibarkanlah bendera kebaikan
Tebarkanlah perdamaian dan manfaat
bagi sesama

Selamat berjuang anak-anakku...






Menuruni kereta, Merdeka !!!




Lagi-lagi cerita dalam kereta Sudimara-Kebayoran. Saat aku mau naik kereta langsam jurusan Tanah Abang, aku berbarengan naik dengan ibu Nana. 
     
     O ya sedikit aku mau bercerita tentang ibu yang satu ini. Dia kenalanku sesama “kereta lovers”. Dia seorang guru di SD Negeri Kebayoran lama. Jadi aku sering banget bareng sama dia. Entah karena kita sama-sama guru, atau memang sering ketemu, maka pertemanan kami lumayan baik. 

Tapi berbeda denganku, bu Nana adalah seorang ibu yang sangat memperhatikan penampilan ; Di usianya yang menjelang setengah abad, wajahnya cerah terawat, kuku- kuku kaki dan tangannya bagus, bercuteks dan panjang (konon ia meni pedi sebulan sekali). Sepatunya kulit mengkilap dan selalu matching dengan pakaian seragam mengajarnya setiap hari. 

Ia memiliki dua putera. Satu bekerja di Amerika, yang ke dua di Jakarta, seorang pengusaha. Jadilah ia tinggal berdua saja dengan suaminya.

        Berperawakan mungil dan ramping, ia juga ramah dan sopan. Nah, hari itu kami naik berbarengan. Seperti biasa penumpang kereta padat sampai di pintu dan pembatas gerbong. Kami berusaha naik dan berhasil.

Di depan kami persis ada seorang ibu yang tingginya setinggi ibu Nana. Ia tampak sedang memakan sesuatu, mungkin makan sirih. Dia menenteng  keranjang  bawaan di tangan kirinya. Ia juga pejuang kemerdekaan seperti kami.  

 “ “Eh ibu…”  kataku pada ibu Nana. “Kok naik kereta ini? Biasanya komuter lain (commuter line, red.) ?” aku memulai percakapan sambil  memperhatikan  kerudungnya yang bagus. Sayang sekali jika kerudungnya itu  kesenggol  pedagang pisang atau pemasok bebek, hehe…

“Iya nih,” katanya terengah-engah. “Komuter yang  duluan udah lewat. Kesiangan tadi, takut telat nih...”

Kami berdiri bersisian, menghadap ke gerbong depan yang penuh sesak oleh para penumpang. Selain ibu yang sedang makan tadi, beragam penumpang lain yang kira-kira terdiri dari para pekerja buruh, pedagang asongan,  anak-anak sekolah, guru-guru seperti kami, dan juga ibu-ibu penggendong anak yang berprofesi sebagai penumpang  dadakan jalur “Three In One”
 
“Eh bu Endoh.. kemana ya Bu Eli? Aku sudah lama nggak ketemu dia?, “ Tanya bu Nana. Bu Eli adalah seorang teman seperjalanan kami ynag mengajar di SMA swasta di Pondok Indah.
”Oh? Iya juga yaa.., saya juga sudah lama, mungkin dia naik angkot sekarang ke sekolahnya.” Jawabku sekenanya. “Kenapa? Bu Nana kangen yaa?” candaku.
 
“Bukan begitu.. dia kan pinjem selendangku, katanya buat kondangan… udah lamaaa banget nggak dikembalikan!” kata ibu Nana bernada keluhan. Dahinya berkerut dan alisnya melengkung.

“O ya?” kataku, semoga terdengar lumayan menghibur. “Mungkin dia lupa atau susah mencari ibu Nana..” kataku. “Maklum kereta api kan banyak dan beda-beda jamnya”. Bu Nana mengangguk.

Saat kami asyik  bercakap-cakap, ibu pemakan sirih tadi tiba-tiba mendengus, menghamburkan aroma tertentu pada muka si ibu Nana yang cantik. Serta merta ibu Nana memalingkan muka . Si ibu didepannya terlihat tersinggung dan meradang. 

      ” Heh.. emang napas saya bau, apa?” si ibu penyirih melotot. Ibu Nana kaget. “Sial.. bukannya minta maaf…..”, mungkin itu yang dipikir bu Nana. Maka dia mennjawab,

“Emang kenapa kalo saya memalingkan muka?” kata bu Nana tak kalah sewot. “Emang situ bau!” katanya berani. Sepertinya adu mulut cukup berimbang. Mereka berdua kemudian diam. Kereta berjalan cepat berderak-derak. Penumpang lain menahan komentar di hati masing-masing.
     Di stasiun berikutnya (pondok Ranji), ratusan penumpang (eh lebay, ya…) naik lagi ke gerbong kami. Ibu Nana dan aku juga tentunya makin terdesak. Si ibu penyirih didepannya makin mendekat dan menempel pada bu Nana. Ibu Nana menjerit.

     “Aw!”  teriak bu Nana mendorong tangan ibu penyirih yang menenteng keranjang plastic itu.
                “Kenapa sih ibu ini? Sok banget? Emang keretanya padet!” ibu penyirih memulai pertarungan lagi. 

       “T*t*k saya.. sakkkit!” kata bu Nana keras sekali. Dia berusaha melindungi dadanya dengan tangannya. Tidak bisa. Didalam kepadatan kereta seperti itu, kita bahkan  tidak dapat menggerakkan tangan  sekalipun. 

Aneh.. tak seorangpun tertawa atau tersenyum simpul mendengar bu Nana menyebut kata itu. Ia hampir menangis. Akupun Cuma meringis membayangkan betapa sakitnya dada bu Nana kesikut tangan ibu di depannya. 
 
 Tapi ibu penyirih terlanjur murka. Ia sepertinya sudah kehilangan rasa. “Dari tadi kamu emang sok cakep!” katanya kejam. Ibu Nana terus mengaduh. Dia berusaha mundur barang setapak. Tapi kakinya tetap tak beranjak. Tanpa mempedulikan si ibu penyirih tadi bu Nana menangis. “Ini tet*k masalahnya.. sakit sekali..hiks..hiks….”
 
Aku hanya bisa berdo'a dalam hati semoga kami segera sampai di Kebayoran lalu turun dari kereta Langsam untuk mencapai kemerdekaan…