Minggu, 09 November 2014

Pelajaran Yang Sangat Berharga

Perjalanan ke Pulau Pari.

(Dedicated to POMG Harapan Ibu and Friends)











Tidurku sangat nyenyak malam itu sampai aku tak mendengar azan subuhpun.

"Mamah.. banguuun.. udah jam setengah enaaam" kata putriku setengah berteriak... "Ha, astaghfirullahal 'azhiiim.." aku punya janji jam 6 di Muara Angke. Mana mungkin ? Ini Ciputat bung.. Selatan dan utara adalah dua kutub yang berlawanan.


Tapi apa salahnya jika kucoba. Dudurusut aku mandi dan ganti baju. Shalat subuhpun kulakukan alakadarnya. (Maafin ya Allah..).


Dering telpon bersahut2 an . Teman-temanku bergantian menelpon. Ada yang menggerutu..ada pula yang menghibur. Ada juga yang marah-marah.


 "Lagian sih.. Bukannya nginep di sekolah kayak gue"... Kuputuskan untuk naik kereta ke Tanabang. Dari sana tinggal selangkah lagi ke Angke dengan kereta Langsam. Unfortunately.. no train to Angke. Dan kuketahui kemudian bhw Angke Stasiun beda jauuuh dgn Angke Muara. Akhirnya aku menunggu taksi.


Eh.. aneh deh , para sopir taksi seolah mengejekku. Sedikit sekali taksi yang lewat dan itu penuh semua. "Endoooh.. kamu dimana? kita udah naek kapal !" teriak bu Rini di telpon setelah aku berhasil mendapatkan taksi.


Deg..


 "Mmm.. aku masih di jalan.. " kataku harap-harap cemas.


 "Masih berapa jauh?" desaknya. Aku celingukan Sama sekali aku tidak mengenal daerah yang mungkin disebut Tanjung Priok ini.


 "Udah bau-bau laut sih.."


 "He..lu tu yee.. dassar!" Aku berusaha terdengar tegar ketika ku jawab.


 "Udah mo jalan kapalnya? Ya udah jalan aja.. ntar aku nyusul.."




--------------------------------------------------------------

 

 "Emang lu pikir mau ke pasar bisa nyusul?" 

 Aku masih berharap ketemu teman-teman saat aku turun dan mem bayar taksi di Muara Angke. 


 Aku melihat ada sebuah kapal. Putih. Kuseret tasku melewati genang-an air yang penuh sampah dan lumpur. Uh.. Uh.. Jam di tanganku menunjukkan pukul tujuh pagi. 


Aku melambai ke arah kapal itu. "Pulau Tidung , bu?" teriak awak kapal sambil melepas sauh. Suara mesin kapal itu menderu. Aku ingat bahwa tujuanku adalah pulau Pari. "Mau ikut nggak?' kata si ABK yang kulitnya hitam dan rambutnya keriting. 


Kapal sudah bergerak. "Ya.. saya ikut. " kataku mantap. Aku jarang memikirkan perlunya peta, denah ataupun kompas. Jadi feelingku berkata bahwa Tidung, Pari dan pulau-pulau lain di kepulauan seribu adalah titik-titik kecil yang berdekatan.


"Endoh.. kita udah di tengah lauuut" suara bu Rini girang di seberang telepon. Abk berteriak pada nahkoda. Kapal mundur beberapa mêtér. Aku mélompat dari ujung dèrmaga dibantu si ABK. Hup ! Kapal langsung menderu Para pnumpang nampak gembîra héndak pesiar ke pulau Tidung. Àda yang duduk tenang digoyang ombak..ada yang bersandar di buritan. Aku sendirian di tengah hiruk pikuk penumpang yang bercengkerama dengan teman atau kelarganya. 


Tiba-tiba aku merasa sangat haus


---------------------------------------------------------------------------- 

 
Aku merogoh tas, mencari2 kalau-kalau ada air atau madu atau es krim didalamnya.. hehe..

Horengmah boro-boro. Informasi bahwa panitia akan menyiapkan sarapan di kapal membuatku sama sekali tidak membawa makanan atau minuman apapun. Kebiasaan buruk yang tak patut ditiru.


 Aku mengitari kabin kapal yang tidak terlalu besar itu, siapa tahu ada kantin atau pedagang asongan. Nihll. "Kenapa bu? haus?" seorang pelancong cantik berbaju tanktop yang sedang foto- foto seolah dpat mmbaca pikiranku. Dia memberi ku sebotol air mineral. Alhamdulillaah..


Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Udara laut yang lembap membuat air putih yang sering kuabaikan itu terasa nikmat sekali. Nyess.. Oksigen dari air putih tadi membuat pikiranku rileks kembali, setelah sepanjang jalan tadi adrenalinku berpacu cepat hampir semaput.


 Aku mulai menata rencana selanjutnya. Aku naik ke geladak menemui nahkoda. "Pak.. apakah bapak bisa mampir ke pulo Pari? " tanyaku. Nahkoda tersenyum menimbang-nimbang. Wani Piro? Mngkin begitu pikirnya.


 Aku menanti jawaban. "Maaf bu.. tidak bisa.. kecuali ada ojek perahu yang jemput ke tengah " Aku bergidik ngeri. Selain resiko tenggelam, aku juga tidak bisa bayangkan bagaimana aku pindah dari kapal ....meloncat ke perahu.. ditarik tanganku oleh mamang perahu.. dibawah tatapan puluhan mata penumpang kapal yang duduk di geladak..


Uhui.. Kayak di dongeng ajah.. Belum lagi nanti pas turun di dermaga... teman temanku akan bertepuk tangan menyambutku...


_______________________________________________________


Secercah harapan muncul saat kuingat aku punya kenalan yang baru saja menikah dengan pemuda asli pulau Tidung . 


Kutelpon Iyo yg segera mengontak suaminya agar menjemputku di dermaga Tidung. Iyo sendiri sedang tidak di pulau itu karena sedang ada keperluan di rumah ibunya di Banten . 


Setelah berlayar kurang dari 3 jam Aku dan penumpang lain turun dalam guyuran hujan deras . Aku mencari2 suami Iyo diantara payung -payung penjemput warna warni. Nah itu dia . 


"Bibi Endoh ya? " Kata anak muda itu ramah. 


Aku diajaknya ke rumah ibunya dan disuguhi minuman dan makanan hangat. Sebagai penyuka traveling, biasanya aku sangat menikmati tempat baru . Apalagi jika penduduknya ramah.Tapi Di pulau Tidung hal tidak aku rasakan . Aku memandang dingin Jembatan Cinta yang katanya romantis itu. 


Aku juga menanggapi alakadarnya tawaran para penjual sovenir dan ikan asin andalan pedagang lokal . Selain aku tidak terlalu tertarik juga lebih karena aku agak tongsis..eh..tongpes..hehe Sekarang ini all that I want is ketemu teman-teman di pulau Pari . 


Bukan disini . 


Tidak seperti biasanya, kerinduanku bertemu teman-temanku seperti rindunya seorang anak ingin ketemu ibunya.  ..hehe. 


Kegundahanku terbaca oleh suaminya Iyo . Dia menawarkan "ojek " ke Pulau Pari . Aku segera menyambar tawaran itu dengan sukacita. Paman Soni yang memiliki perahu ternyata tidak seantusias diriku . Dia diam menengadah ke langit . 

 "Hujan bu " katanya tanpa ekspressi . 


______________________________________________________



Gawat ! Aku tidak bisa membayangkan malam ini menginap sendiri di Tidung. Mertua Iyo yang kemudian menawariku penginapan gratispun kutolak. Aku keukeuh ingin ke pulau Pari . 


Aku tidak putus asa. Melalui Soni aku menanya si paman kalau2 ada kemungkinan hujan reda. Tanpa bicara si nelayan menjinjing jirigennya. Mungkin ia mulai merasa kesian padaku . Wallohu a'lam. 


Aku faham aku harus beli solar.


"150.000 bi".. kata Soni saat kutanya harga solar sekali jalan . 

 Ha? belum jasa si peng ojek. Sebenarnya dia nelayan biasa yang sehari-harinya mencari ikan Tetapi harga sejumlah itu adalah normal untuk jarak Tidung-Pari yang kupikir dekat itu. Dan For your information, ..uang segitu tuh nggak ada apa-apanya buat dia. Cuma buat bensin doang. Kuintip dompetku. Pas 150.000. 


Aku berjalan tegak penuh optimisme. Kegembiraanku akan beremu teman-temanku membuang rasa galau ketiadaan uang saku. Disana banyakorang baik untuk  pinjam  tambahan pak  nelayan, pikirku.  Aku jadi ingat aku sering kehabisan ongkos di saat pulang kerja, padahal aku masih harus ngojek. Aku kalem aja panggil ojek.. naik dan ... bayar di rumah. 


Kalau di rumahpun tak ada uang... aku pinjam ke teteh pengasuh anakku , teh Sanah.. Dia itu orang hebat.. Selalu ada uang receh di kantongnya. :)


Saat teman-temanku menegur gaya nekatku itu.. aku bilang ke mereka . 


 "Look... I am fine and  ..  still  survive , right ?!"     :) 

 
Kata Mang Ade, seorang pengusaha dan petani pisang dari Banten, meminjam uang adalah salah satu ikhtiar, suatu sumber penghasilan. 

________________________________________________



Cuaca berpihak padaku. Si paman naik dan menstater mesin perahu. Dia mengajak serta istri dan dua balitanya . Aku naik kemudian. Bismillaahirrahmaanirrahiiim. 

Laut sangat tenang. Aku duduk dengan 2 bocah itu sementara sang ibu menemani suaminya dekat kemudi. Anak-anak itu seperti nya sudah terbiasa "jalan-jalan" di laut sehingga mereka nampak biasa saja seperti halnya anak darat main mobil-mobilan. 

Langit biru terang. Sebuah perahu penuh penumpang menggunakan pelampung berwarna- warni terang mendahului perahu kami yang sudah agak tua  itu. 


 "Mereka mau snorkling". Jawab anak-anak itu ketika kutunjuk perahu itu. 

Oh.. Akupun mungkin seperti itu nanti sama-teman-temanku jika sudah sampai Pari. 


Tiba-tiba hujan turun lagi. Makin lama makin deras. Angin bertiup kencang. Ombak menjadi lebih besar dan lebih tinggi. Air mulai menciprati wajahku dan bocah-bocah itu. Aku menengok dan ingin berkata sesuatu pada suami istri nelayan itu. Tapi aku tidak dapat membaca air muka mereka. Mungkin ini sudah biasa bagi mereka. Atau mereka pandai menyimpan perasaan . Entahlah !

Kami terguncang-guncang. Ombak -ombak raksasa mengunung berlapis-lapis di depan. Seribu Polisi tidur di kompleks dekat rumahku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan ini. Perahu menanjak dan meluncur. Aku berpegangan pada tiang atap yang sudah robek tadi. Tiang itu miring. Rangka atap yang terbuat dari bambupun mulai miring, dan jatuh satu persatu. Baju kami basah . Kupeluk dua anak itu dan merekapun memejamkan mata sambil komat-kamit berdoa. 


Perasaanku tak menentu. Perahu terus melaju. Kami terombang ambing ditengah raksasa ombak yang jumawa. 


______________________________________________________ 



Dalam kengerian yang teramat sangat aku bersyukur mesin perahu masih menyala dan perahu berjalan dengan baik. Suami istri nelayan terus mengendalikan perahu dalam diam. Makanan dan air minum kami juga sudah habis sehingga agak sulit untuk menghibur anak-anak itu dengan cemilan. 


Aku berandai-andai jika saja ada perahu lain berpapasan pasti aku akan merasa lebih aman. 


"I am not alone.."

Terlebih jika perahu itu menjual teh atau kopi panas. Saat aku berfikir seperti itu  benar saja, dari kejauhan kulihat sebuah kapal pesiar yang besar dan mewah. 

Aku mengukur-ukur kekokohannya dan membayangkan suasana di dalamnya. Kapal itu makin mendekat. Aku berharap ada signal komunikasi antara kami dengannya. Tapi ia begitu tertutup dan berjarak. Ia begitu anggun dan sombong. Aku melihat jendela-jendelanya yang terbuka a.. Namun tak ada yang mengetahui keberadaan kami. 


Aku merasa seperti Si gadis Korek Api yang lapar dan kehujanan didepan rumah mewah yang hangat penuh hidangan bercita rasa lezat. 

Dalam kondisi seperti demikian tak ada yang bisa kami lakukan kecuali bertahan. Pertahanan yang lemah berujung pasrah. Pasrah dalam ketidakberdayaan yang memilukan. Jika saja Tuhan memanggilku menuju kedalaman laut yang luar biasa pekat, maka tak ada yang bisa kulakukan untuk menolaknya. 


Deru mesin perahu dan suara gemuruh ombak menggempur seluruh pertahanan jiwaku. Perahu miring ke kiri dan ke kanan. Air hujan dan ombak terus bergantian membasahi kami. Aku tak punya apapun sekarang. Bahkan tiang perahu untuk berpeganganpun sudah patah.. 


"Bahtera ini kecil.. 

Gampang terbawa angin.
Sekelompok batu karang 
Siap meremukkan.. 
Kapankah.. Kita kan berlabuh... "   (Ebiet G.Ade)

__________________________________________________



Aku membaca ayat-ayat dan doa yang kutahu dan kuingat. 


Melalui angin kutitipkan pesan pada anak-anakku agar mereka menjadi anak shalih/ shaliha, mendoakanku, dan membayar utang-utangku kelak. 


"Ya Allah.. Jika aku mati sekarang.. Tolong hapuskanlah dosa-dosau. Mohon jauhkan aku dari api neraka.. " kataku dengan suara keras. 


Tak tahan lagi melihat ombak besar.. Aku memejamkan mata... 


Tak terasa airmataku berlinang...


 La haula walaa quwwata illaa billaaah. 



____________________________________________________



Subhanallah.. Kengerian itu mereda kini. . 


Allah mengujiku tadi. Ia menunggu ingatku kepadaNya. Aku membuka mata. Dua bocah itu mengelap muka dengan tangan mereka yang masih basah. Mereka mulai tersenyum juga karena lega. 


Pulau Pari mulai terlihat dalam kabut yang mulai memudar. Kutarik nafas kebebasan saat paman nelayan memutari ekor Pari yang panjang itu. 

Yang kulakukan pertama-tama bersyukur kepada Allah yang telah memberiku kesempatan untuk selamat. Untuk memperbaiki diri. 


Lalu aku  memberi tahu orang yang paling berkepentingan dalam acara ini, Ibu Enda Saragih, ketua POMG di sekolah kami. 

"Ibuuu.. I am safe...." kataku gembira. Tak terbilang rasa syukurku dapat menginjak tanah lagi.

Kuresapi langkah demi langkah setelah perjalanan yang sangat dahsyat itu ; perjalanan sarat makna yang baru saja kualami tadi. 


Pertemuanku dengan teman-teman dan panitia terasa lebih indah dari apapun saat itu. Aku melihat mereka semua tersenyum, senyum yang paling indah yang pernah kulihat .





Alhamdulillahi robbil aalamiin.
Originally written by Endoh   11-11-2014