Senin, 23 Januari 2012

Apa dan Ibu




        Ini cerita tentang seorang ayah. Bukan, bukan ayah saya sendiri, tapi ayah biologis orang lain, yang saya anggap ayah motivasi, karena beliau menginspirasi sebagian dari kehidupan saya, walaupun bisa dipastikan hal ini beliau tidak sadari.

        Kami memanggilnya “Apa”, sebuah panggilan seorang anak dalam bahasa Sunda kepada ayahnya.

       “Apa” juga bisa berarti kependekan dari Bapak, atau mungkin juga panggilan kesayangan seorang anak terhadap ayahnya. Kawan mau tahu? Wajah Apa sejuk, smily, dan ramah pada setiap orang yang dikenalnya.

       Apa memiliki 6 orang anak; Ali Nurdin, Mohammad Zen, Yoyoh, ‘Ai, Nunung, dan Asep. Semuanya sehat, cerdas dan menonjol di sekolah masing-masing.

      Dan Ibu, istri Apa, adalah seorang ibu rumah tangga, wanita desa penyabar dan sederhana, namun amat cerdas. Kecerdasan itulah yang nampaknya menurun pada keenam putera-puteri mereka, yang mengantarkan mereka pada pengalaman belajar mereka berikutnya.

       Apa ibu, dan keluarga tinggal di Kacapi Amis, sebuah kampung di kecamatan Menes, Pandegelang, Banten bagian Selatan. Kampung ini didominasi hasil tanaman berupa tropical fruits yang tak henti-hentinya berbuah, bergantian, dari musim ke musim, memenuhi kebutuhan keluarga Apa dan penduduk kampung lainnya.

        Dikelilingi pelbagai macam pohon tropis yang rimbun tadi; melinjo, salak , durian, nangka, jambu air, kesemek, kelapa, lobi-lobi, kacapi, serta tanaman bunga-bungaan olahan tangan ibu, rumah Apa dan Ibu sangat sejuk dan asri. 

        Jika musim buah tiba, Apa dan Ibu  memetik hasil kebun dan menjadikannya sebagai  bekal untuk  Yoyoh di Ciputat, atau Ali Nurdin di Bandung. Mungkin berkat buah-buahan karunia Allah ini juga anak-anak apa sangat cerdas di sekolahnya.

       Apa memanggil  anak-anaknya dengan panggilan sayang; "nu kaseeeep,  nu geuliiis, nu pinteeer, sehingga anak-anak itu terlihat sangat dekat dengannya; merasa tersanjung dan tersemangati untuk benar-benar menjadi kasep, geulis dan pinter. (Ceuk nabi tea geh, kata-kata adalah doa/ you‘re what you say !)

      Sepengetahuan saya, Apa jarang sekali marah, entah itu sifat dasarnya, atau karena saya belum pernah melihatnya saja. Mungkin apa akan marah hanya kalau anaknya gupak dina leutak, sampai lupa makan siang , atau kalau anak lelakinya main dan pulang larut malam.

        Di pagi hari apa bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Agama Kecamatan, Lalu di sore harinya apa memeriksa kebunnya yang cukup luas yang terletak tak jauh dari rumahnya.

       Jika salah seorang anak Apa pulang dari tempat kuliahnya di Depok, Ciputat, atau Bandung, nun jauh puluhan kilometer dari Kacapi Amis, apa akan menyambut mereka dengan senyum lebar, mendengarkan celotehan mereka, dan memberi komentar dengan bijaksana.

Ibu pandai memasak dan senang sekali menyapu halaman rumahnya yang luas itu, sehingga rumah panggung mereka yang teduh itu makin asri di tangan ibu dengan rerimbunan bunga dan pepohonan, membuat anak-anaknya atau siapa saja yang datang ke rumahnya merasa betah tinggal berlama-lama.

Begitulah; lingkungan, iklim, dan romantisme kampung sangat mungkin membuat penghuninya merasa nyaman dan aman. Untuk sebagian  orang, keadaan ini  dapat menina-bobokan dan melenakan; berselimut sarung, sambil siduru di hareupeun hawu, membuat sebagian dari kami, orang kampung malas beranjak dari comfort zone semacam itu. 

Memiliki sumber pangan  yang cukup, berpendidikan standar dan situasi kampung yang aman tentram,  kadang menjadikan para penduduk berpuas diri . It seems that life is simple, easy and joyful. 

Tapi tidak demikian dengan keluarga apa. Terpenuhinya basic needs mereka yakni sandang, pangan, dan papan, tidak membuat mereka bangun telat  dan terlambat ke sekolah. Apa dan ibu bahkan memiliki pemikiran  ke depan jauh sebelum istilah Visioner dikenal seperti sekarang ini.

Pemikiran dan mimpi-mimpi apa dan ibu tidak sesederhana kehidupan mereka sehari –hari yang dimulai dengan nasi gonjleng atau gogodoh pisang tanduk. Cita-cita Apa dan Ibu untuk mengantarkan anak-anaknya menuju ke sekolah yang tinggi membangkitkan mereka dari tidur nyenyak di subuh yang dingin nan nyaman itu.

Menapaki jalan tanah atau berbatu, mereka berlari dengan senang hati menuju sekolah. Kadang jika hujan deras mengguyur, jalanan menjadi licin  berlumpur kental, anak -anak itu tetap riang melangkah dibawah payung daun pisang atau daun kajar-kajar, sambil mengangkat tinggi-tinggi rok panjang atau celana seragamnya menuju sekolah, melewati jarak yang tak kurang dari dua kilo meter jauhnya.

Pembaca, 

Lihatlah beberapa tahun kemudian.  Semangat apa dan ibu itulah yang mengobarkan semangat  Ali Nurdin menyelesaikan studinya di jurusan Hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, serta S2-nya di Universitas Indonesia, dan sekarang S3 di Unpad (lagi). Wow.... Subhanallah... It is awesome !!

Moh. Zen, si kasep dan jenaka putra apa yang kedua, setelah lulus SMA melanjutkan kuliah di jurusan ikhfa, eh.... IPA_ IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan S2 Manajemen di sekolah papan atas PPM. (Excellente...)

Sekarang dia bekerja sebagai salah seorang tenaga muda yang kreatif , dan diandalkan oleh orang-orang tua di Departemen Agama Pusat. Selain juga megabdi sebagai pendidik di perguruan Tinggi UNMA, serta aktif dalam beberapa organisasi sosial.

Putri pertama Apa, atau anak ketiganya; Yoyoh, sudah berani jauh dari orang tuanya sejak SMA. Ia bersekolah di MAN –MP (Madrasah Pembangunan) Ciputat dalam usia yang masih belia. Bayangkan, dalam usia semuda itu (sekitar 15 tahun), ia sudah berani nge-kost bareng dengan mahasiswi UIN. Tidak heran jika ia jauh lebih cepat dewasa dan tahu banyak hal dibandingkan gadis kecil lain seusianya.

Putri kecil-chubby- yang pemberani itu kini berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang soleha bagi suami dan kedua putranya, sambil melanglang buana ke berbagai daerah dan mancanegara, karena ia juga sibuk  ngurusi sekolah-sekolah terpencil, dibawah naungan AUS_AID, sebuah organisasi nirlaba dibawah kedutaan Australia tempat ia bekerja.

Sebelumnya, Yoyoh juga pernah bekerja di perusahaan besar Jepang, Sony, setelah menamatkan kuliahnya di jurusan Administrasi Niaga Universitas Indonesia, sebelum ia pindah kerja ke tempat yang ditekuninya sekarang ini sampai ke level Project –Manager.

Sodara, semoga saya tidak berlebihan dalam menceritakan  sebagian  kisah apa dan Ibu ini. Saya bahkan belum menulis tentang  ‘Ai, ibu bidan yang kini tengah menambah ilmu di Universitas Indonesia jurusan Administrasi Kesehatan Masyarakat. (bener nggak Ai?)

Putri ke empat Apa ini mengabdikan dirinya untuk kesehatan ibu, bayi, dan balita, di RS Serang, ibukota provinsi Banten. Semoga di tangan teh Ai, anak-anak golden agers itu menjadi generasi yang sehat, tangguh dan soleh-soleha.

Untuk ukuran masyarakat Menes, bahkan kota Pandegelang, achievement Apa dan Ibu ini sungguh tidak dapat dikatakan sederhana, seperti halnya sifat ibu dan Apa naturally. Bisa jadi dulu apa dan ibu tidak membayangkan anak-anaknya berangkat sejauh itu ke berbagai tempat-tempat dimana mereka menemukan sumber ilmu yang hebat . 

Yang Apa dan ibu lakukan hanyalah memberikan yang terbaik buat anak-anaknya.

Apa rahasia Apa dan ibu dalam mendidik putra putrinya? Bagaimana membangun eagerness dan curiosity anak-anak itu ? Bagaimana apa dan ibu mengatasi lika-liku  dalam mendidik anak-anaknya?. Itulah rahasia yang ingin penulis ketahui. 

Dalam usia apa dan Ibu yang sekarang sudah tidak muda lagi, kiranya penting bagi kita untuk mengetahui sejauh mana upaya mereka dalam membesarkan  anak-anaknya dulu, sehingga kini mereka  mampu berkiprah membantu masyarakat yang memerlukan sesuai bidangnya masing-masing..

Demikian semoga bermanfaat.. mohon maaf jika ada kekeliruan .. :)