Selasa, 28 Mei 2013

Subhanallah

Tahun ini adalah tahun yang penuh berkah bagiku. Betapa tidak? Aku dikaruniai kenikmatan yang tak terhingga oleh Allah dengan kehidupan yang dinamis dan bercahaya.

Dalam sebuah Renungan Sabtu Pagi aku tafakkur. Sebagian kecil karunia llah itu akan kutulis disini

Yang pertama adalah Oim

Oim yang dulu TK sekarang sudah mau ujian SMA. Sebagai seorang anak,dia adalah 'cendramata' dari Allah yang senantiasa membaeri keindahan di ruang-ruang kehidupan kami.

Sejak kecil dia sangat kritis dan tidak mau diatur, tapi dia akan sangat patuh jika apa yang dilakukannya yakin benar. Dia tidak akan berhenti bercerita jika belum sampai ke intinya, sampai kadang-kadang kita pegel mendengarkannya.

Kalau disuruh mengerjakan sesuatu dia akan bertanya dulu, kenapa harus demikian, dan dia akan menolak jika merasa tidak logis. dan sebaliknya akan mengerjakannya dengan penuh tanggung jawab jika masuk akal.

Oim juga senang berjualan. waktu kelas 3 SD dia membawa 10 buah es mambo ke sekolahnya. Waktu itu tahun 2000. Harga es mambo Rp 100,- Ia dengan sukacita membawa uang pulang.

"Laku Im?" kataku.
"Ya maa... laku semua.."
"Mana uangnya?"
"Ini..." katanya
"Kok cuma tiga ratus?"
"Waktu istirahat Oim keluar, jadi hilang enam, laku tiga dan oim
makan satu" katanya polos.

Waktu SMP dia mengalami "peer group problem", seperti yang sudah kuceritakan di "Oim dan Rokok". sehingga nilai-nilai kelas 1 dan 2 nya jeblok.

Di Ujian akhir, tiba-tiba oim berhasil mendisiplinkan diri sehingga dia dengan bangga mengumumkan padaku bahwa dia mampu sekolah di tempat yang ia dan teman-temannya inginkan. Ia, terlebih sangat bangga karena pada saat ujian beberapa temamnnya "tidak percaya diri" sehingga "membeli" jawaban soal.

"Emang ada yang jual, Im?" tanyaku innocent
"Ada maa...banyak"

Suri Tauladan

Pinter!!!!!!


Setiap aku mau berangkat  mengajar,  anakku (8 tahun) selalu bertanya jam berapa akan pulang . Dia menatap mataku dengan sungguh-sungguh untuk mendengar  angka yang kusebutkan.

"Jam lima!" jawabku , dan dia akan selalu menawar agar aku datang lebih cepat. Atau dia akan mengatakan,

"Bener ya jam lima..., awas ya jangan kayak kemaren, bilangnya jam lima tapi mamah malah datang setengah tujuh !!! "

"Iya..iya...!" kataku sambil bergegas berangkat.


Suatu hari aku terlambat lagi dari waktu yang sudah kami sepakati. Aku tiba di rumah jam setengah delapan karena ada latihan persiapan performance di sekolah sampai jam empat. Setelah itu meeting panitia, dan jalanan Pondok Pinang Ciputat macet parah.


Anakku sedang di masjid untuk  shalat isya bersama teman-temannya. Aku menjemputnya di depan masjid setelah ia selesai shalat. Dia keluar, melihatku sekilas, mengenakan sendal jepit oranyenya, lalu berjalan ke arahku.

Ia melotot, menyerahkan mukena pink-nya yang terbungkus sajadah dan berkata sambil menunjuk pergelangan tangannya,

"Ini jam lima? Pinterrrr!!!! "

 Tak tahu harus bereaksi apa, , aku malah tertawa  terbahak-bahak. Ia melengos melewatiku, pulang duluan.

==============================

Beberapa hari kemudian, saat suasana hatinya sedang nyaman, sambil duduk-duduk minum teh hangat di teras rumah, kami membahas kejadian itu. Dia bertanya:

"Mah, kenapa sih mamah suka break your promise?"
"Yang mana?"
"Banyak.. terutama yang pulang telat. Kakak kan nggak mau ngaji kalau di mesjid ga ada mama."
"Oh... ituuu.. ya..ya, nanti mama jawab, tapi kenapa ya kemaren kakak bilang pada mama bahwa mama "pinter" waktu mama telat?"

Dia tersenyum. Aku menambahkan, "Bukannya pinter disitu nggak tepat kak? kata pinter tuh biasanya diucapkan dalam kata-kata pujian, misalnya, "Aduh kaka pinter deh merapikan tempat tidur sendiri"

"Mama tidak merasa pernah ngajarin kakak kata-kata itu, kan?"
"Maaf ya mah, it's not your fault"  katanya sambil menunjuk mulutku.
"Who is it then?"
"It was my ugly ugly ugly sister, Teta"
"Really? kapan dia bilang gitu?"

Sambil memperagakan sesuatu, anakku menjelaskan, saat aku tidak ada di rumah, dan Teta, kakaknya (18 tahun)  mengambil alih tanggung jawab kerapihan rumah, dia dengan tanpa sengaja menumpah kan teh manis di atas meja.

"Cinta? kenapa tehnya ditumpahkan? pinterrr!"


















 

Rabu, 15 Mei 2013

Sebuah Catatan buat Ibu Kepala Sekolah


Be on time!


Pagi yang cerah di Parung Benying. Oleh sebab ada libur di sekolah tempatku mengajar, aku beruntung dapat mengantarkan anakku yang masih SD ke sekolahnya dengan bersepeda. Waktu menunjukkan jam jam tujuh kurang dua puluh menit ketika kami sampai di sekolah, artinya masih ada beberapa saat bagi anakku untuk bermain bersama teman-temannya sebelum bel masuk berdentang. 

Setelah bercakap-cakap sebentar dengan anakku dan teman-temannya, aku menuruni bukit dimana sekolah itu berdiri, meraih dan mengayuh sepedaku  untuk kembali pulang. 

Tak berapa jauh aku menggowes, di kejauhan, tampak seorang anak yang berseragam sama dengan anakku, berjilbab, kemeja putih panjang, dan rok hijau panjang setumit, berlari terengah-engah menyeret tangan ibunya dan tas berat di punggungnya, menuju sekolah itu. Mungkin ada waktu sekitar empat atau lima menit lagi bagi anak itu untuk sampai di kelas.

Aku menghentikan kayuhan sepedaku, memperhatikan wajahnya yang manis. Ibunya, khas ibu-ibu kantoran, berlari-lari kecil dibelakangnya, memperbaiki letak tas tangannya yang bergoyang-goyang. Gadis kecil itu masih dapat tersenyum sambil bercakap-cakap dengan sang ibu.

“Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet”
Tepat ketika ia sedang akan meniti anak-anak tangga kecil di tanjakan halaman sekolah itu, bel masuk berbunyi. Mereka mempercepat langkahnya.

Aku cemas sekaligus  terpesona dengan pemandangan itu. Kulihat anak-anak yang sedang bermain tadi langsung berbaris dengan rapi di depan kelasnya masing-masing. Tinggal dua anak tangga lagi gadis kecil manis itu mencapai halaman. Ia berhenti melangkah dan menundukkan kepalanya. Ia tahu akan ada masalah. 

Ibunya melepas tangan anak itu, berlari menuju ibu gurunya yang sedang membimbing siswa siswi  berbaris.

Sang ibu terlihat menggerakkan tangan ke dadanya seolah meminta maaf, lalu menunjuk anaknya yang sedang menunduk lesu, memohon agar anaknya boleh masuk. Ibu guru tersenyum, menggelengkan kepalanya, menggumamkan kata-kata yang tentu saja tak kudengar. Sang ibu masih menawar. Ibu guru menunjuk ke papan peraturan.

Dengan langkah gontai si ibu berbalik dan meraih tangan anaknya untuk  pulang. Si gadis kecil memeluk ibunya, menangis. Ibunya mengusap kepalanya. Aku melihat kesedihan yang dalam dimata kedua manusia itu ketika mereka melewatiku. 

Aku membayangkan, betapa repotnya Naya (belakangan aku mengetahui namanya dari anakku yang ternyata sekelas dengannya), menyiapkan dirinya untuk berangkat sekolah. Pasti tak jauh berbeda dengan anak-anak lain seusianya;  bangun pagi dengan berat hati, mandi setelah disuruh berulangkali, sarapan, pakai seragam, dan tetek bengek lainnya. Dan justru pada saat ia dapat melewati semua itu ia ditolak oleh sekolah.

Pasti Naya merasa diperlakukan tidak adil. Betapa tidak? Ia yang sudah melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sebelum berangkat sekolah, justru harus pulang kembali dalam kebingungan. Ia  bingung mau ngapain, karena seluruh jiwa raganya hanya tercurah pada sekolahnya. Bermain? Ia tidak tahu harus bermain dengan siapa, karena semua anak seusianya sedang disekolah pada saat itu. Bermain dengan ibu? Apa lagi! Ibu sudah berangkat ke kantor setelah menghibur dan mengomelinya sedikit tadi. Paling-paling ia hanya berharap pada pengasuhnya yang sudah sibuk dengan pekerjaan rumah yang menumpuk.

Itulah yang kira-kira terjadi pada Naya. Di sisi lain, aku memberikan two thumbs up kepada sekolah anakku yang terletak di sebuah kompleks kecil Vila Dago Tol di bilangan Ciputat itu. Jika datang lebih dari jam tujuh, walaupun itu hanya satu menit, siswa harus dipulangkan, tanpa reserve!

“JIKA ADA PIHAK-PIHAK YANG TIDAK SEPAKAT DENGAN PERATURAN INI, HARAP MENEMUI KEPALA SEKOLAH, IBU HAJJAH FULANAH”  begitulah bunyi lanjutan dari pengumuman yang tertulis di depan kantor tata usaha sekolah itu.  

Sebagai orang tua murid, aku tidak akan menemui ibu kepala sekolah yang disiplin itu hanya untuk protes. Aku akan menemuinya kelak untuk mengucapkan terimakasih karena peraturan yang ia buat membuat anakku bangun sangat pagi karena takut terlambat.

***