Minggu, 09 November 2014

Pelajaran Yang Sangat Berharga

Perjalanan ke Pulau Pari.

(Dedicated to POMG Harapan Ibu and Friends)











Tidurku sangat nyenyak malam itu sampai aku tak mendengar azan subuhpun.

"Mamah.. banguuun.. udah jam setengah enaaam" kata putriku setengah berteriak... "Ha, astaghfirullahal 'azhiiim.." aku punya janji jam 6 di Muara Angke. Mana mungkin ? Ini Ciputat bung.. Selatan dan utara adalah dua kutub yang berlawanan.


Tapi apa salahnya jika kucoba. Dudurusut aku mandi dan ganti baju. Shalat subuhpun kulakukan alakadarnya. (Maafin ya Allah..).


Dering telpon bersahut2 an . Teman-temanku bergantian menelpon. Ada yang menggerutu..ada pula yang menghibur. Ada juga yang marah-marah.


 "Lagian sih.. Bukannya nginep di sekolah kayak gue"... Kuputuskan untuk naik kereta ke Tanabang. Dari sana tinggal selangkah lagi ke Angke dengan kereta Langsam. Unfortunately.. no train to Angke. Dan kuketahui kemudian bhw Angke Stasiun beda jauuuh dgn Angke Muara. Akhirnya aku menunggu taksi.


Eh.. aneh deh , para sopir taksi seolah mengejekku. Sedikit sekali taksi yang lewat dan itu penuh semua. "Endoooh.. kamu dimana? kita udah naek kapal !" teriak bu Rini di telpon setelah aku berhasil mendapatkan taksi.


Deg..


 "Mmm.. aku masih di jalan.. " kataku harap-harap cemas.


 "Masih berapa jauh?" desaknya. Aku celingukan Sama sekali aku tidak mengenal daerah yang mungkin disebut Tanjung Priok ini.


 "Udah bau-bau laut sih.."


 "He..lu tu yee.. dassar!" Aku berusaha terdengar tegar ketika ku jawab.


 "Udah mo jalan kapalnya? Ya udah jalan aja.. ntar aku nyusul.."




--------------------------------------------------------------

 

 "Emang lu pikir mau ke pasar bisa nyusul?" 

 Aku masih berharap ketemu teman-teman saat aku turun dan mem bayar taksi di Muara Angke. 


 Aku melihat ada sebuah kapal. Putih. Kuseret tasku melewati genang-an air yang penuh sampah dan lumpur. Uh.. Uh.. Jam di tanganku menunjukkan pukul tujuh pagi. 


Aku melambai ke arah kapal itu. "Pulau Tidung , bu?" teriak awak kapal sambil melepas sauh. Suara mesin kapal itu menderu. Aku ingat bahwa tujuanku adalah pulau Pari. "Mau ikut nggak?' kata si ABK yang kulitnya hitam dan rambutnya keriting. 


Kapal sudah bergerak. "Ya.. saya ikut. " kataku mantap. Aku jarang memikirkan perlunya peta, denah ataupun kompas. Jadi feelingku berkata bahwa Tidung, Pari dan pulau-pulau lain di kepulauan seribu adalah titik-titik kecil yang berdekatan.


"Endoh.. kita udah di tengah lauuut" suara bu Rini girang di seberang telepon. Abk berteriak pada nahkoda. Kapal mundur beberapa mêtér. Aku mélompat dari ujung dèrmaga dibantu si ABK. Hup ! Kapal langsung menderu Para pnumpang nampak gembîra héndak pesiar ke pulau Tidung. Àda yang duduk tenang digoyang ombak..ada yang bersandar di buritan. Aku sendirian di tengah hiruk pikuk penumpang yang bercengkerama dengan teman atau kelarganya. 


Tiba-tiba aku merasa sangat haus


---------------------------------------------------------------------------- 

 
Aku merogoh tas, mencari2 kalau-kalau ada air atau madu atau es krim didalamnya.. hehe..

Horengmah boro-boro. Informasi bahwa panitia akan menyiapkan sarapan di kapal membuatku sama sekali tidak membawa makanan atau minuman apapun. Kebiasaan buruk yang tak patut ditiru.


 Aku mengitari kabin kapal yang tidak terlalu besar itu, siapa tahu ada kantin atau pedagang asongan. Nihll. "Kenapa bu? haus?" seorang pelancong cantik berbaju tanktop yang sedang foto- foto seolah dpat mmbaca pikiranku. Dia memberi ku sebotol air mineral. Alhamdulillaah..


Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Udara laut yang lembap membuat air putih yang sering kuabaikan itu terasa nikmat sekali. Nyess.. Oksigen dari air putih tadi membuat pikiranku rileks kembali, setelah sepanjang jalan tadi adrenalinku berpacu cepat hampir semaput.


 Aku mulai menata rencana selanjutnya. Aku naik ke geladak menemui nahkoda. "Pak.. apakah bapak bisa mampir ke pulo Pari? " tanyaku. Nahkoda tersenyum menimbang-nimbang. Wani Piro? Mngkin begitu pikirnya.


 Aku menanti jawaban. "Maaf bu.. tidak bisa.. kecuali ada ojek perahu yang jemput ke tengah " Aku bergidik ngeri. Selain resiko tenggelam, aku juga tidak bisa bayangkan bagaimana aku pindah dari kapal ....meloncat ke perahu.. ditarik tanganku oleh mamang perahu.. dibawah tatapan puluhan mata penumpang kapal yang duduk di geladak..


Uhui.. Kayak di dongeng ajah.. Belum lagi nanti pas turun di dermaga... teman temanku akan bertepuk tangan menyambutku...


_______________________________________________________


Secercah harapan muncul saat kuingat aku punya kenalan yang baru saja menikah dengan pemuda asli pulau Tidung . 


Kutelpon Iyo yg segera mengontak suaminya agar menjemputku di dermaga Tidung. Iyo sendiri sedang tidak di pulau itu karena sedang ada keperluan di rumah ibunya di Banten . 


Setelah berlayar kurang dari 3 jam Aku dan penumpang lain turun dalam guyuran hujan deras . Aku mencari2 suami Iyo diantara payung -payung penjemput warna warni. Nah itu dia . 


"Bibi Endoh ya? " Kata anak muda itu ramah. 


Aku diajaknya ke rumah ibunya dan disuguhi minuman dan makanan hangat. Sebagai penyuka traveling, biasanya aku sangat menikmati tempat baru . Apalagi jika penduduknya ramah.Tapi Di pulau Tidung hal tidak aku rasakan . Aku memandang dingin Jembatan Cinta yang katanya romantis itu. 


Aku juga menanggapi alakadarnya tawaran para penjual sovenir dan ikan asin andalan pedagang lokal . Selain aku tidak terlalu tertarik juga lebih karena aku agak tongsis..eh..tongpes..hehe Sekarang ini all that I want is ketemu teman-teman di pulau Pari . 


Bukan disini . 


Tidak seperti biasanya, kerinduanku bertemu teman-temanku seperti rindunya seorang anak ingin ketemu ibunya.  ..hehe. 


Kegundahanku terbaca oleh suaminya Iyo . Dia menawarkan "ojek " ke Pulau Pari . Aku segera menyambar tawaran itu dengan sukacita. Paman Soni yang memiliki perahu ternyata tidak seantusias diriku . Dia diam menengadah ke langit . 

 "Hujan bu " katanya tanpa ekspressi . 


______________________________________________________



Gawat ! Aku tidak bisa membayangkan malam ini menginap sendiri di Tidung. Mertua Iyo yang kemudian menawariku penginapan gratispun kutolak. Aku keukeuh ingin ke pulau Pari . 


Aku tidak putus asa. Melalui Soni aku menanya si paman kalau2 ada kemungkinan hujan reda. Tanpa bicara si nelayan menjinjing jirigennya. Mungkin ia mulai merasa kesian padaku . Wallohu a'lam. 


Aku faham aku harus beli solar.


"150.000 bi".. kata Soni saat kutanya harga solar sekali jalan . 

 Ha? belum jasa si peng ojek. Sebenarnya dia nelayan biasa yang sehari-harinya mencari ikan Tetapi harga sejumlah itu adalah normal untuk jarak Tidung-Pari yang kupikir dekat itu. Dan For your information, ..uang segitu tuh nggak ada apa-apanya buat dia. Cuma buat bensin doang. Kuintip dompetku. Pas 150.000. 


Aku berjalan tegak penuh optimisme. Kegembiraanku akan beremu teman-temanku membuang rasa galau ketiadaan uang saku. Disana banyakorang baik untuk  pinjam  tambahan pak  nelayan, pikirku.  Aku jadi ingat aku sering kehabisan ongkos di saat pulang kerja, padahal aku masih harus ngojek. Aku kalem aja panggil ojek.. naik dan ... bayar di rumah. 


Kalau di rumahpun tak ada uang... aku pinjam ke teteh pengasuh anakku , teh Sanah.. Dia itu orang hebat.. Selalu ada uang receh di kantongnya. :)


Saat teman-temanku menegur gaya nekatku itu.. aku bilang ke mereka . 


 "Look... I am fine and  ..  still  survive , right ?!"     :) 

 
Kata Mang Ade, seorang pengusaha dan petani pisang dari Banten, meminjam uang adalah salah satu ikhtiar, suatu sumber penghasilan. 

________________________________________________



Cuaca berpihak padaku. Si paman naik dan menstater mesin perahu. Dia mengajak serta istri dan dua balitanya . Aku naik kemudian. Bismillaahirrahmaanirrahiiim. 

Laut sangat tenang. Aku duduk dengan 2 bocah itu sementara sang ibu menemani suaminya dekat kemudi. Anak-anak itu seperti nya sudah terbiasa "jalan-jalan" di laut sehingga mereka nampak biasa saja seperti halnya anak darat main mobil-mobilan. 

Langit biru terang. Sebuah perahu penuh penumpang menggunakan pelampung berwarna- warni terang mendahului perahu kami yang sudah agak tua  itu. 


 "Mereka mau snorkling". Jawab anak-anak itu ketika kutunjuk perahu itu. 

Oh.. Akupun mungkin seperti itu nanti sama-teman-temanku jika sudah sampai Pari. 


Tiba-tiba hujan turun lagi. Makin lama makin deras. Angin bertiup kencang. Ombak menjadi lebih besar dan lebih tinggi. Air mulai menciprati wajahku dan bocah-bocah itu. Aku menengok dan ingin berkata sesuatu pada suami istri nelayan itu. Tapi aku tidak dapat membaca air muka mereka. Mungkin ini sudah biasa bagi mereka. Atau mereka pandai menyimpan perasaan . Entahlah !

Kami terguncang-guncang. Ombak -ombak raksasa mengunung berlapis-lapis di depan. Seribu Polisi tidur di kompleks dekat rumahku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan ini. Perahu menanjak dan meluncur. Aku berpegangan pada tiang atap yang sudah robek tadi. Tiang itu miring. Rangka atap yang terbuat dari bambupun mulai miring, dan jatuh satu persatu. Baju kami basah . Kupeluk dua anak itu dan merekapun memejamkan mata sambil komat-kamit berdoa. 


Perasaanku tak menentu. Perahu terus melaju. Kami terombang ambing ditengah raksasa ombak yang jumawa. 


______________________________________________________ 



Dalam kengerian yang teramat sangat aku bersyukur mesin perahu masih menyala dan perahu berjalan dengan baik. Suami istri nelayan terus mengendalikan perahu dalam diam. Makanan dan air minum kami juga sudah habis sehingga agak sulit untuk menghibur anak-anak itu dengan cemilan. 


Aku berandai-andai jika saja ada perahu lain berpapasan pasti aku akan merasa lebih aman. 


"I am not alone.."

Terlebih jika perahu itu menjual teh atau kopi panas. Saat aku berfikir seperti itu  benar saja, dari kejauhan kulihat sebuah kapal pesiar yang besar dan mewah. 

Aku mengukur-ukur kekokohannya dan membayangkan suasana di dalamnya. Kapal itu makin mendekat. Aku berharap ada signal komunikasi antara kami dengannya. Tapi ia begitu tertutup dan berjarak. Ia begitu anggun dan sombong. Aku melihat jendela-jendelanya yang terbuka a.. Namun tak ada yang mengetahui keberadaan kami. 


Aku merasa seperti Si gadis Korek Api yang lapar dan kehujanan didepan rumah mewah yang hangat penuh hidangan bercita rasa lezat. 

Dalam kondisi seperti demikian tak ada yang bisa kami lakukan kecuali bertahan. Pertahanan yang lemah berujung pasrah. Pasrah dalam ketidakberdayaan yang memilukan. Jika saja Tuhan memanggilku menuju kedalaman laut yang luar biasa pekat, maka tak ada yang bisa kulakukan untuk menolaknya. 


Deru mesin perahu dan suara gemuruh ombak menggempur seluruh pertahanan jiwaku. Perahu miring ke kiri dan ke kanan. Air hujan dan ombak terus bergantian membasahi kami. Aku tak punya apapun sekarang. Bahkan tiang perahu untuk berpeganganpun sudah patah.. 


"Bahtera ini kecil.. 

Gampang terbawa angin.
Sekelompok batu karang 
Siap meremukkan.. 
Kapankah.. Kita kan berlabuh... "   (Ebiet G.Ade)

__________________________________________________



Aku membaca ayat-ayat dan doa yang kutahu dan kuingat. 


Melalui angin kutitipkan pesan pada anak-anakku agar mereka menjadi anak shalih/ shaliha, mendoakanku, dan membayar utang-utangku kelak. 


"Ya Allah.. Jika aku mati sekarang.. Tolong hapuskanlah dosa-dosau. Mohon jauhkan aku dari api neraka.. " kataku dengan suara keras. 


Tak tahan lagi melihat ombak besar.. Aku memejamkan mata... 


Tak terasa airmataku berlinang...


 La haula walaa quwwata illaa billaaah. 



____________________________________________________



Subhanallah.. Kengerian itu mereda kini. . 


Allah mengujiku tadi. Ia menunggu ingatku kepadaNya. Aku membuka mata. Dua bocah itu mengelap muka dengan tangan mereka yang masih basah. Mereka mulai tersenyum juga karena lega. 


Pulau Pari mulai terlihat dalam kabut yang mulai memudar. Kutarik nafas kebebasan saat paman nelayan memutari ekor Pari yang panjang itu. 

Yang kulakukan pertama-tama bersyukur kepada Allah yang telah memberiku kesempatan untuk selamat. Untuk memperbaiki diri. 


Lalu aku  memberi tahu orang yang paling berkepentingan dalam acara ini, Ibu Enda Saragih, ketua POMG di sekolah kami. 

"Ibuuu.. I am safe...." kataku gembira. Tak terbilang rasa syukurku dapat menginjak tanah lagi.

Kuresapi langkah demi langkah setelah perjalanan yang sangat dahsyat itu ; perjalanan sarat makna yang baru saja kualami tadi. 


Pertemuanku dengan teman-teman dan panitia terasa lebih indah dari apapun saat itu. Aku melihat mereka semua tersenyum, senyum yang paling indah yang pernah kulihat .





Alhamdulillahi robbil aalamiin.
Originally written by Endoh   11-11-2014




Kamis, 25 September 2014

The Young Travelers





The young Travelers

Hari Sabtu

“Mom, I’m on the way to Jakarta” kata anakku yang kuliah di Jogja. Aku terkejut karena biasanya anak lelakiku itu  bilang jauh-jauh hari sebelum pulang.
Hari sudah sore saat itu. 

Aku memutar otak, apa yang bisa aku siapkan ya buat dia makan malam.  Biasanya anakku yang satu ini bertanya aku masak apa sebelum dia sampai di rumah. Maklumlah mahasiswa, ia ingin masakan yang rada serius ketimbang makanan yang biasa ia beli sehari- hari di kampus; telor rebus,dadar telor, ceplok telor… J
“Saya tidak sendiri, mah.. tapi bertiga”

“Ha, bertiga…?” Kami yang biasanya masak nasi 1 gelas hari ini harus dilebihkan.

“Tapi tenang mah, kami baru sampe Purworejo.. besok pagi kami baru tiba di stasiun Senen!” 

Ahh.. lega.. setidaknya masih ada waktu. Aku akan memasak untuk tiga mahasiswa, dan anakku yang ada di rumah tentunya ;  Nasi, ayam  goreng, eh ayam  kecap mentega aja deh, sayur bayam,  sambal..  dan buah klengkeng..  

Oke.. sepertinya cukup sempurna. 

“Siapa saja Im ?” tanyaku. 

“Satu orang Aceh, satu orang Madurra” jawabnya santai sambil tertawa. Bayanganku langsung kepada sepiring mie Aceh dan sate Madura. Aku selalu agak parno jika ada tamu mau datang apalagi menginap di rumah.  Aku takut mereka tidak sejahtera. Maklum kulkasku seringkali kosong.

Tapi ya sudahlah  nasi  dan  ayam goreng kecap pastilah disukai mahasiswa  yang berasal dari suku apa saja.

Aku belum bertanya maksud kepulangan anakku kali ini. Belum sepekan   dia selesai KKN di Papua satu setengah bulan, kok sudah melakukan perjalanan pulang. Bukankah ia belum lama ini bilang nahwa pasca KKN, perkuliahan mulai aktif lagi untuk setahun berikutnya, bahkan lebih intensif karena sudah semester akhir, sehingga seharusnya dia tidak mengizinkan dirinya untuk pergi ke mana-mana.


Tapi adiknya yang terkecil sangat bersuka cita. Dia sudah siap dengan segudang kebanggaan yang akan dipamerkannya. Keesokan paginya, diajaknya teman-temannya  naik ke pohon cerry, membawa bantal dan tiduran diantara cabang-cabangnya yang rindang sambil membaca buku. 

“Biar Oim kaget kita ada di atas”, katanya. Sesekali dia menengok ke bawah. Lehernya menjadi lebih panjang.

Terlalu lama diatas  pohon, ia bosan. Lalu ia turun dan bersembunyi di balik kain gorden dengan teman-temannya.

“Ntar kita kagetin kalau Oim datang!” katanya mengatur posisi teman-temannya. 

Puluhan menit berlalu, tak terdengar tanda-tanda sang kakak tiba, akhirnya ia keluar dengan cemberut, diikuti teman-temannya. 

“Ya udah, kita masak pancake aja, biar bisa minum teh sore sama temen-temen Oim” lanjutnya setengah putus asa.

Ternyata anakku tak langsung ke pulang rumah siang itu. Tiba pagi buta di stasiun Senen, Dia memanfaatkan waktu untuk mengajak teman-temannya keliling Jakarta. City Tour, katanya. 

Waktu sarapan pastilah sudah lewat. Kupikir mereka akan datang pagi-pagi, kupesanlah  nasi uduk yang tak lama kemudian  dingin sudah. 

Waktu makan siang, si bungsu mulai kesal. Dia sudah mati gaya.

“Mamah, Oim itu mau pulang nggak sih?“ katanya mulai bete. Nasi hangat dan ayam kecap akhirnya  kami hidangkan untuk kami sendiri. Kami merayakan Welcome Lunch  untuk kami sendiri. Tinggal beberapa potong ayam plus bagian kepala dan ceker  serta beberapa butir lengkeng kami sisakan. 

Biarin, salah sendiri !
Magrib.
Krik..krik..
Isya.
“Huwaaaaaah..” 

Si adik mulai mengantuk.Teman-temannya sudah pulang lepas shalat Maghrib tadi.
Beberapa kali anakku menelpon. Namun batang hidungnya yang berjerawat itu tak kunjung terlihat jua. 

Sampai disini aku jadi teringat ibuku dulu. Saat aku kuliah di IAIN  kemudian menikah dan tinggal di Ciputat, kerap ia memintaku pulang ke Desaku, Majau. Aku berfikir saat itu bahwa kepulanganku hanyalah kegiatan biasa; datang, bersalaman, makan bareng, lalu  minta bekal untuk bulan berikutnya,

Sekarang baru terasa olehku betapa ibuku dulu menantikan kedatanganku dengan sangat. Beyond  every things  !

No matter what kind of a child I was. Not important what I had to give  to her at that moment. She awaited me as  I am.  Indeed. 

Sampai kami bersiap-siap untuk tidur lagi, merekapun belum datang . Akhirnya aku menghubunginya :

“Oim, kalau nanti kalian datang dan lapar, makan aja. Mamah udah nggak tahan kantuk”. 

About at ten AM , just right before I close my eyes and pull my thick blanket , I heard a loud call.  

“ Mamaaaa.. we are coming  !!! ”

Huh.. ganggu ajah.

Tak pelak aku tersenyum juga ketika  menyiapkan mereka makan malam. Harir yang mungil dan Pram  yang  gempal  adalah anak-anak yang sopan. For  the first sight I know that mereka adalah anak-anak  shaleh.  Aaamiiin.

Mereka  menolak ketika kusuruh mandi karena kelelahan . Uh mereka bau sekali setelah seharian ber –Jakartaria. Mereka juga menolak tidur di kamar, tapi lebih suka   leyeh-leyeh  di luar diatas selembar tikar. Wah.. mahasiswa banget ya.  Padahal banyak nyamuk loh.

Sepertinya mereka tahu bahwa kamar yang kutawari adalah kamar cewek, adik-adiknya Oim. Mereka takut kamarnya berwarna pink dan … wangi bunga.. hahaha … padahal sama aja.  Bau apek!   Apalagi ada bantal Teta yang nggak boleh dijemur…


Setelah semua beres, aku pamit untuk istirahat.

“Eits.. tunggu ! “ kata si Oim. “Mama nggak boleh tidur.. Oim mau cerita dulu perjalanan selama di Papua, Nih lihat foto-fotonya.. “ kata anakku sambil membuka netbooknya. Kalau tahu mau begitu, kenapa sih nggak datang dari tadi pagi? Kataku menggerutu dalam hati.

“Huaaaah… nggak mau ah !’’ tolakku tidak terlalu halus.
“Dulu waktu Oim pulang dari Turki, mamah juga nggak punya waktu untuk dengerin Oim bercerita… Nah sekarang harus.. rus !!”

“Nih… pas kita sampai di bandara Biak.Kita disambut hangat Pemda Papua” serunya bersemangat.

“Ini  bintang laut sangat besar di pantai Supiori………”  lanjutnya.

Suaranya makin jauh. 

“Lihat mah, anak-anak itu menangis saat perpisahan…..”
Sambil tertelungkup , sayup-sayup aku mendengarkan lanjutan cerita perjalanan dia selama Kuliah Kerja Nyata di bumi Papua. 

“Subhanallah….”,  kataku sambil memandangi keindahan bawah laut Supiori dalam mimpi.

Maaf ya Oim, besok kita lanjutkan… kataku tak terucapkan.
Dan aku tidak mendengar suara apa-apa lagi.

************************************************

Senin  Subuh
“Bangun semua.. Ola , Cinta, Oim.. Mama mau berangkat sekolah”
“Kakak masih ngantuk…”

“Mau ketemu Oim nggak? Dia sudah datang lho tadi malam!” kataku. Harir dan Pram langsung terjaga dan  berjalan ke Mesjid tanpa berwudhu terlebih dahulu. Begitu mungkin kebiasaan di Asrama PPSDMS.

Bagaimana kalau di Mesjid nggak ada air? J
Semua sibuk pagi itu. Anak-anak bersiap ke sekolah. Sambil bersalaman, Oim bilang sama adik-adiknya bahwa ia mau ke Aceh pagi itu lewat Kuala Lumpur. 

“Hah? “ kata sang adik. Sirnalah sudah rencananya  showing  up  her new talents.
“Baru nyampe,  Oim sudah berangkat lagi”. 

“Kok bentar banget  sih mah? “ katanya berharap jawab.
“Tahu tuh !” kataku sekenanya. Aku yang bolak-balik dapur, kamar, depan terlalu sibuk  untuk  menjelaskan.

Taxi yang sudah dipesan sudah menunggu di depan. Kesibukanku bertam-bah pagi itu karena selain menyiapkan bekal anak-anakku ke  sekolah, juga  agar aku dapat menghantarkan  kepergian tamu - tamu istimewa  itu.

“Im, sebenarnya Oim mau kemana sih?” tanyaku sambil mengaduk teh.
“Lah, kan udah saya kasih tahu 3 bulan lalu,”
“3 bulan yang lalu? “
“Yang Oim bilang kemarin aja  mamah udah lupa!”

 “ Saya tuh mau ke Aceh. Ingat mah?  Nah, karena ongkos lewat Kuala Lumpur  lebih murah, jadi Oim lewat sana”.

Murahnya seberapa sih Im? Batinku mereka-reka. Tapi aku tak punya cukup waktu untuk menghitung.

 “Oke deh.. selamat jalan, sekalian ya kita keluar bareng. Mamah mau ngajar. ”
“Wait mom.. “ katanya sambil menarik tanganku ke kamar.

“Ada apa sih?” Aku  menepis tangannya.
“My money is  depleted !” Aku membuka kamus di kepalaku. Lalu,

Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaa?? (aku agak pingsan. Tulang-tulang ikan asin berjejer di kepalaku).

How can? He would go to KL and Aceh without money? Of course I was not ready to hear and response his words.

“We are  back packer,   mom”.
“Yes but you need enough amount in your backpack!”  sahutku.
“Absolutely.. “ he smiled. “So that the moms are  for!” katanya menyogok.
Gubraaaaak !!!

***********************************

Senin malam Oim telpon bahwa dia dan teman-temannya disuruh keluar dari sebuah masjid di Malaysia tempat mereka berencana menginap. Mereka pikir negeri Jiran itu  sangat religius . Pasti Datuk-datuk itu akan mengizinkan mereka  untuk  sekedar memejamkan mata  di rumah indah dan  ramah  tersebut.

Duh, kalau saja Opa dan Kak Ros tahu… pasti mereka akan diundangnya makan malam dengan- i –e- way –ei- em -yam … ayam. Dan yang pasti Upin dan Ipin akan sharing kamar mereka yang sederhana dengan suka-cita.  

 Ternyata para pemberani yang lugu itu tak sepenuhnya dapat meyakinkan marboot masjid bahwa mereka berani berzikir semalaman untuk menghindari 200 Ringgit  sewa losmen.  Bersyukur mereka tidak dideportasi.

Selasa pagi mereka mengumumkan sudah berada di ujung negeri. Subhaanallah.. katanya.  Di Sabang yang lautnya lebih indah dari Supiori. Di dasar laut yang ikannya berwarna-warni. Di laut Aceh yang indah dan dahsyat. Di tanah subur gemah ripah nan mendirikan bulu roma.. di tanah luas  yang menjadi saksi kematian ribuan jiwa… As moslems,  they look feel at home ..

“Oim merinding mah..” katanya. “Speechless !! ”
3 hari penuh arti para pejuang muda  itu di tanah Rencong. Sempat melihat kekokohan Baiturrahman, dan eksekusi rajam seorang pencuri di latarnya, anak-anak hukum itu  merasakan bahwa sepanjang yang mereka tahu, Aceh adalah provinsi ter-aman dari korupsi dan pencurian di seluruh Indonesia.

Selain itu, mereka merasakan  keramahan penduduk asli yang diwakili oleh ibunda Harir yang sebatang kara mengasuh keluarga. Mereka   makan minum disana disuguhkan dengan senyuman tulus, for free !!.



Anakku yang satu ini selalu update status. Nor in the FB, neither to the Plurk. But to me.

“Mom.. Now we’re in the bus to Medan!” teriaknya meningkahi deru bis antar kota itu. Wah.. Aku tidak bisa membayangkan Medan. Aku hanya ingin makan bika Ambon.

“Temui Teh Kiki, bilang mama minta dikirim bika dan sirop markisa” hehe..
“This is the best bus ever, Mom!”  jawabnya, nggak nyambung.
Alhamdulillah anyway .

Kebahagiaan anakku yang membuncah memberikan energi positif ke seluruh relung hatiku. Betapa tidak ?

Manakala anak kita berbahagia, “fabiayyi aalaa-I robbikuma tukadzzibaan?”
Kuceritakan semuanya pada anakku yang lain, Teta, Ola, Cinta. Bahkan temanku di sekolah. Mereka ikut senang.

“Hebat ya mah.. Oim bisa melaju dari Merauke Sampai ke  Sabang” Kata Cinta menirukan judul lagu sambil menunjuk peta lusuh di dinding rumah kami.

“Alhamdulillah..” kataku . “Semoga ini menjadi awal perjalanan ia ke tempat yang lebih jauh” .

“Seperti Marcopolo dan Vasco de Gama  ya Mah?” kata Cinta yang baru saja membaca Seri Tokoh Dunia.

“Ya.. Juga seperti Ibnu Bathuthah dan Kapten Cheng Hoo” jawabku. Aku teringat Imung kawan baikku yang suka mendaki gunung dan pernah berkunjung ke berbagai negara.

“Juga seperti teh Yoyoh yang sering berdinas ke luar negeri ya? “ kata Ola.
“Ya .. neng”

Puji syukur pada Allah tak henti kupanjatkan karena anakku bisa bepergian ke tempat-tempat yang belum pernah kusinggahi.




Namun tak ayal,  ada suka-ada duka.
Begitulah hidup ini.

On the way home from  work , manakala aku terkantuk-kantuk in the angkot, my son asked me if I have time to listen to him. Kalo cara  gini ngomongnya, dapat dipastikan  ia sedang punya masalah serius. Pasti hatinya lagi ciut.

 “Mah…., I feel not so well today.. “  Dia berhenti berkata.
“I think I just as runaway from the fact. ” Lanjutnya.

“What’s up?” Aku mulai mengira-ngira.
“Actually I have class at Campus   these days” Nah loh.. Apa kubilang ?!!

Aku jadi teringat dia pernah sangat down ketika gara-gara absensi , pak dosen Ilmu Hukum kasih dia nol di ujian semester. On the contrary, it was one of his favorite  tutorial !

“Then?”
“Then I am now feeling bad, coz I haven’t been permitted yet..”
Ya pasti lah galau…

“Truss?”
“Then I haven’t told the Senior librarian whose I work with him these months that..  I am here,… far away from Djokjakarta ”.

“So what?”
“Also I have an appointment with Mas Fajar to do the Class Project together”
“Ladju?”

“I really need your support mom, I have no  excuse !”
Nop ! 
“What can I do, son?” mau tak mau  aku bertanya rada keuheul.

“Anything..”
“Listen  Oim.. I can do nothing. This is a consequence. Things happens with reason! “ kataku berfilsafat.

“There is a start before an end!” Aku nyontek kata-kata ini dari Imung.
“OK mom..” katanya dengan suara rendah diujung telepon. Seolah-olah dia melihatku melotot.

“When you choose to go forward, just forget the previous place. Never stepping backward”

“And have fun  !” . teriakku, membuat sopir angkot menengok sejenak. Awas pak.. nabrak puun J J.

“Don’t waste your time to complain and giving  me such  bad news”. Suaraku masih tinggi .

Let me enjoy your travel . kataku tapi tidak diucapkan. Takut  dia bosan.
Tapi aku menambahkan

“Of course if you want, you can take it as a lesson ”
“Yes Mom” Dia mulai lega kedengarannya.

“Get it?” tanyaku seperti kepada siswa di kelas tiga bilingual J
“Sure Mom, thank you. ”



Keesokan harinya anakku dan kawan-kawannya tiba di Jakarta dengan pesawat Citilink dari Medan. Jam 21.00 di Bandara Soekarno Hatta, dia harus mengejar kereta Malam  di Stasiun Senen ke Djokjakarta  jam 23.00.

Aku tidak mau ikut deg-degan jika ia dan teman-temannya ketinggalan kereta, dan ketinggalan kuliah keesokan harinya.

Maka aku sms anakku :

“Selamat malam Oim, mamah sudah mau tidur …”
“Don’t bother me any more !! ”

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

Baru keesokan  paginya dia membalas,
“ Kami sudah datang di Jokja mah.. dan ketinggalan  2  mata kuliah….


(Tuuuuuh, kaaaaaan?????!!!!!…)


Somehow …
I feel that it was not only a travel.
It was a spiritual Journey !!
Wallaahu a’lam bisshawaaab.