Kamis, 02 Februari 2012

Melaju Bersama Bebek

Seperti  biasa pagi itu aku mengejar kereta pagi, jam 06.00. alhamdulillah dapat kereta ekonomi tepat pada   waktunya. Kereta padat penumpang. Kami berebut masuk,  mendesak orang-orang yang berdiri di pintu.

"Ayo doong masuuk ke dalam.. biar kita juga bisa.." kata ibu-ibu berpakaian rapi di depanku. Wangi parfum menyebar dari kerudungnya yang berwarna ungu. Orang-orang yang sebelumnya sudah berada di pintu kereta itu berusaha bergeser walaupun hanya satu dua senti .

"Terus dong.. ayo mama.. maju!! kata anakku di belakangku sambil mendorongku. Berjejal-jejal kami berusaha masuk. Pintu di persambungan kereta itu sudah tidak menyisakan space untuk diinjak, sebenarnya. Tetapi ajaib, tetap saja masih bisa memuat orang begitu banyak.


Bukan hanya itu, rupanya, selain  penumpang, ternyata di pintu itu juga ada 2 (baca : dua) kurungan bebek yang masing-masing memuat sekitar 7 sampai sepuluh ekor. Dengan semangat "pantang menyerah", mati-matian kami berusaha melewati kurungan bebek yang terbuat dari bambu itu .

"Injak aja, bambunya kuat kok!" teriak seseorang, yang mungkin pemilik bebek-bebek itu. Hiruk-pikuk dan sumpah serapah  manusia-manusia pencari berkah Tuhan itu bersatu padu, berirama merdu seperti lagu-lagu simfoni Bethoven.

Kuiiiiiiiiiiiiik... gujes..gujes.....

Kereta mulai bergerak.. puji syukur pada Tuhan karena kami sudah didalam. Beberapa penumpang yg dipintu tadi mengikhlaskan sebelah kakinya keluar dari pintu, sambil sebelah tangannya bepegangan ke atap pintu kereta, suatu posisi yang berbahaya sebenarnya.


Namun mereka tak peduli. Rasa syukur dapat terangkut kereta mengalahkan rasa takut. Yang penting sampai ke tujuan.

Aku berdiri hanya setengah meter-an dari batas pintu, persis disebelah kurungan bebek tadi, berdekatan dengan ibu kerudung ungu dan seorang anak SMK. Anakku berdiri agak jauh dariku, cemberut, mungkin membayangkan kalau-kalau ia telat sampai di sekolahnya nanti.

Lantai kereta yang kuinjak digenangi air bebek. Si gadis SMK mengangkat rok abu-abunya. Ibu ungu menutup hidungnya. Aku memejamkan mata, merasa heran kenapa aku tumben, tidak mengeluh. Aku berkomat-kamit berdoa penuh syukur karena tidak harus menunggu kereta berikutnya. Mungkin karena sudah biasa menderita (ehm), aku tidak terlalu galau dengan keadaanku di pagi itu.

Everything is ok now. kereta melaju dengan cepat, berderak-derak, mengoncang-goncangkan kami yang sudah mulai anteng. Mataku mulai mengelana ke seluruh penjuru gerbong. Di kolong kursi-kursi penumpang,ternyata masih ada kelompok bebek-bebek lainnya, tanpa dikurung. 


Diikat kakinya satu sama lain, mereka diam, nurut, dan anteng.. seperti kami para penumpang kereta yang kini merasa safe didalamnya; diam, nurut, dan anteng, menanti takdir di terminal yang akan kami tempuh kelak. Begitulah tabiat khas kami orang Indonesia; cepat memaafkan keadaan, mudah ditenangkan.

Begitupun ketika aku naik tadi, aku melihat orang-orang yang awalnya panik, khawatir, dan terlihat saling menyikut, kemudian menjadi pasrah dan  tenang; mereka  duduk berjejer-jejer dan berdiri berjejal-jejal diatas kereta kelabu itu,  memburu sekeping-dua keping uang recehan melalui pekerjaan halus atau kasar di kota metropolitan. 


Mereka duduk dengan antengnya, sambil mengobrol dan merokok; bahkan bercanda-canda. Tak ada keluhan, tak peduli dengan cuaca, atau bahaya tegangan tinggi kabel listrik KRL sepanjang  rel kereta Serpong-Jakarta itu.

Selop high heelsku (you know what? in such a train aku pakai sendal semacam itu?) menyelamatkan celana panjang seragam ngajarku dari air-air bebek yang menggenang  itu. Jangan tanya aromanya. Yang pasti, ini akan menghairankan orang-orang yang belum pernah naik kereta seperti ini jika aku ceritakan.

Kebayoran Lama. 


Tibalah saatnya aku dan anakku turun. Tiba-tiba saja, secepat kilat si bapak pemilik bebek mengangkat bebek yang diikat-ikat tadi, mendahului kami menerobos kepadatan penumpang dengan tetesan air bebeknya, menyisakan aroma khasnya, dan sangat mungkin sedikit banyak  menyipratkan tetesan dari kaki-kaki si bebek yang lembut  itu, tak peduli pada kami yang yang harus berpenampilan bersih di tempat belajar atau bekerja nanti .

"Apa peduliku?" mungkin itu kata si pemilik bebek. "Aku kan cuma mau cepat turun ke pasar menjual bebek-bebekku" !!!!).

Penumpang yang ada di belakangnya,  yang juga mau turun, tentu saja protes. Mereka berteriak-teriak menyuruh bapak bebek untuk segera lompat. Didepanku si ibu kerudung ungu  berusaha melewati kurungan bebek yang cukup lebar itu. Roknya disingkapkannya. Dorongan dari belakang semakin mendesakku, aku oleng, menabrak si ibu kerudung ungu didepanku. Tapi si ibu kerudung ungu malah berhenti melangkah, dan hampir saja jatuh terjerembab ke kandang bebek..

Kami semua kuatir kereta segera beranjak. sementara si ibu ungu masih sibuk memasukkan tangannya ke dalam kandang bebek, mengais-ngais isinya. 


"Ngapain sih bu?" kata bapak-bapak di belakangnku, meninggikan kepalanya melewati kepalaku, menghembuskan aroma entah bau jengkol atau pete atau kombinasi aroma keduanya.

Dengan kesal dan malu si ibu menjawab, "Sendal saya, masuk ke kurungan bebek!"


Petugas stasiun meniup pluit tanda kereta harus segera melanjutkan perjalanan. PENUMPANG YANG MAU TURUN MAKIN PANIK.

"Woyy... Cepet!!"

Hup.. Ibu yang malang itu  berhasil mengeluarkan selopnya lalu segera turun setengah melompat dari pintu,disusul bapak bebek, kandang bebek beserta isinya , aku, dan puluhan penumpang dibelakangku tadi.


Huh hampir saja aku kebawa kereta!!! (Cape dech!)  


Salam buat Oim si (calon) pemilik resto Bebekofi