Kamis, 26 Februari 2015

Rokok

Di Majau suatu ketika.

Seorang laki-laki setengah baya sibuk menyiapkan sarapan buat keluarga.
Teh manis untuk anaknya yang remaja, air putih untuk istrinya dan kopi pahit untuk dirinya sendiri.
Ia duduk dan mulai menyalakan rokok. Kepulan asap memenuhi ruang makan itu.
"Mah.. Sudah matang nasi gorengnya?"

"Ya ya ya sebentar.." kata istrinya dari dapur yang tak lama kemudian bergegas datang dengan sepiring besar nasi goreng.

Anak remaja muncul dari kamarnya dengan seragam putih biru dan tas di punggung. Rambutnya tersisir jambul keatas.

"Ayo nak.. Kita mulai sarapan. Jangan lupa berdoa." kata sang ayah.
Si anak menyendok nasi. Ibu meminum air putih dan ayah menyeruput kopinya.
Slurppp... Ahhhhh....

"Nak.. " kata si ayah.
"Ini untukmu. Sebagai bekal istirahat nanti. "

Si anak tebelalak kaget.
"Ini? Buat saya? Ayah serius?"
"Iya nak.. Biar kamu tambah semangat belajarnya."

"Selain itu kau juga harus melanjutkan kebiasaan ayah.. " kata si ayah dengan suara bijak.

Si anak mengangguk. Lalu mencium tangan ayahnya sambil berpamitan . Tidak lupa ia membawa bungkusan kotak kecil berisi 12 batang rokok pemberian ayahnya.

"Terimakasih ayah" katanya sambil beranjak. "Saya akan selalu ingat nasihat ayah "

"Assalamu alaikum".

Ciputat, 23 Des 2014.

KADU GARU



Trulung..trulung... suara air gula aren yang diciduk gayung mungil batok picung itu sangat merdu menerbitkan air liurku.
Setelah setengah hari belajar plus berjalan 1,5 km dari Pasar Sabut, Sodong , tentulah sangat sedap jika menikmati segelas cendol gula aren buatan Teh Kokom di Legok Nangka.
Aku dan To'ah duduk di bangku panjang di bawah pohon nangka Walanda. Anak-anak kecil berlari-lari di depan kami main bebentengan.
Surupuuut... ahh.. kuteguk tetes terakhir cendol arenku. Perjalanan kami masih dua kilometer lagi untuk sampai di rumah. Kuberikan limapuluh perak untuk dua gelas cendol itu.
Kami melanjutkan perjalanan melalui Kadu Garu. Dengan ranting di tangan masing-masing kami bersiap menghadapi segala bahaya.
Kadu garu adalah sebuah areal pekuburan yang yang mengundang banyak cerita.
Ia bak pendongeng yang tak kehabisan kata-kata. Dengan jenggotnya yang terbuat dari pohon-pohon bambu menjuntai ia berdiri penuh wibawa. Sinar matanya yang terpantul dari cahaya matahari yang menembus celah-celah daun menyorotkan kemilau magis membuat kami yang lewat menundukkan kepala .
Kaki-kakinya terbuat dari pohon-pohon beringin besar dengan jari kaki akar pohon yang berlipat lipat, membuat seorang jawara lemburpun tak akan bisa berselfie ria disekitar tempat itu.
Saat angin meniup ujung pepohonan itulah kami lewat. Desaunya lrih membuat kami merinding. Lorong kecil yang merupakan gerbang kuburan itu bagai mulut sang Ririwa yang menyeringai..
Tap..tap..tap.. sendal kami terasa berat dan menggema. Krik..krik.. jawab si jangkrik dan tongeret bersahut-sahutan.
Sebenarnya di seberang pekuburan itu ada sebidang peradaban yang bernama sawah. Tapi kontur tanahnya menurun sehingga terlihat agak jauh di lembah. Anehnya lagi , setiap kami lewat tak satupun petani nampak. Hanya sesekali terdengar suara bangkong atau belentung yang turut menyumbang aura magis pada tempat tersebut.
Kami berpegangan tangan. Saat itu belum ada ojek di kampungku sehingga jalanan sepi sekali.
Langit berlapis mega. Kakek Ririwa mulai bercerita. Konon di tempat ini ada harimau Silukman, eh, Siluman yang menjelma menjadi orang yang berjubah putih. Dia akan mengikuti kita di belakang, terutama di malam hari. Tapi saat kita tengok ke belakang dia menghilang.
Sedikit lagi kami akan melewati kecemasan ini dan segera bertemu dengan perkampungan Kadu Pinang.
Tiba-tiba .... prasssss.. Pohon bambu yang tumbuh subur di pinggir jalan bergoyang-goyang keras. Kami menghentikan langkah. Siaga menyambut segala kemungkinan yang ada.
Sebenarnya tiap hari kami lewat sini. Namun selalu saja keseraman itu muncul setiap melewatinya .
Daun bambu meliuk-liuk lagi. menjuntai kearah jalan seakan ingin menghalangi kami.
Si kakek berwajah seram melanjutkan cerita. Rupanya ia tak puas mempermainkan perasaan kami yang sudah rerempodan serasa tak bertulang.
Kini pohon bambu itu benar-benar melintang menghalangi jalan. Serombongan mahluk tak kukenal, mungkin tujuh atau delapan mahluk berekor panjang menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang tajam.
Sampah. 

 (Sebuah Renungan Untuk Ibu Airin dan Bapak Wawan) 

 Dalam perjalanan menuju tempat kerja, aku menemukan setidaknya 5-8 kantong plastik berisi sampah tergeletak di pinggiri jalan raya, atau bahkan di tengahnya, tergilas dan terseret motor atau kendaraan lainnya. 

Sebagian dari kantong itu terbuka mempertontonkan beragam jenis ; mulai sampah basah, sampah kering dan dan sampah berbahaya. 

Lihat itu ! 

 Sisa makanan busuk atau roti kedaluarsa bercampur dengan pampers bayi dan pembalut wanita. Ada juga kulit duren dan pecahan kaca berdesak-desakan didalam kantong plastik dengan gelas aqua dan kemasan bubur balita. 

 Hoek.. Mungkin kau jijik atau tidak percaya. Tapi itu nyata-nyata ada di sekitar kita. 

Kita? Kamu doang kalee.. katamu.. 

 Baiklah , aku akan memulai dari tempat tinggalku di wilayah Tangsel saja. Setiap rumah tangga disana pasti memiliki sampah.Belum lagi toko toko dan lainnya. 

Aku yang tinggal bertiga anakku saja memproduksi sekitar setengah kilogram sampah sehari, belum lagi jika dihimpunkan dengan semua tetangga lainnya Jika di wilayahku tidak ada TPA (Tempat Pembuangan Sampah Akhir), maka masyarakat bingung buang sampah dimana. 

 Maka, 

 Some of them burn it , both organic and unorganic trash in front of their homes or in the inhabitant area. Others pay the Rubbish Boy monthly and the trash will be brought somewhere we dont know . May be they do throw them in to the rivers. Who knows? 

 Ada pula kelompok ketiga. Mau bakar sampah tidak punya halaman. Mau bayar tukang sampah juga tak cukup uang. Nah.. ini mungkin orang-orang yang jadi biang kerok masalah ini. Ayo kita tangkap aja mereka ! 

 Tangkap?

Apakah membuang sampah di jalan merupakan tindak pidana? Tolong kawan beri tahu jika ya. 

Nah.. Pernah suatu hari aku beruntung melihat langsung salah seorang dari mereka di Tempat Kejadian Perkara ; 

Sebuah sepeda motor bermuatan tigaorang persis melaju di depan kami. Penumpangnya sepasang suami istri berpakaian rapi dan anak lelaki berseragam SD Negeri . 

 Di tangan si ibu ada buntelan plastik besar. Di sebuah tikungan agak sepi, motor itu berhenti. Si lelaki duduk tegak menatap lurus ke depan mencengkeram stang. 

Mungkin takut jika ia menengok belakang ada polisi sampah yang baru dilantik lewat. Wanita di belakangnya celingukan. Tanpa turun dari motor , ia bergaya slow motion meletakkan si bungkusan besar di pengkolan , lalu .. 

 Cawww , pengemudi tancap gas, menghentakkan kedua penumpang tadi sampai hampir terjengkal ke belakang. Aku dan anakku yang sering curhat masalah sampah ini mempercepat laju motor kami, memepet mereka ditengah deru puluhan motor lainnya, kepingin tahu warna mukanya. 

 Oh ternyata si ibu cukup prigel dandanan wajahnya, dan si bapak berbaju rapi dan sepatu bersemir. Aku memelototi mereka. Mereka bergeming tanpa ekspresi. Hanya mata anak lelakinya yang memandang kami bingung. 

 "Heran ya mah?! " kata putriku seraya menyalip mereka. "Bisa ya orang cakep penampilannya tapi mencoreng bumi tempat tinggalnya," Aku menepuk-nepuk pundaknya. 

Kagum pada pemikirannya. Belum hilang kegalauanku tentang orang-orang ignorant itu, di pasar Ciputat aku malah menyaksikan gunung sampah yang tinggi, bermeter-meter kubik tingginya . Teronggok membumbung di tengah (sekali lagi baca: di tengah) pembatas jalan yang sempit . 

 Jalan pasar Ciputat sempit? 

Sebenarnya tidak demikian. Jalannya cukup lebar, namun para pedagang kaki lima menempati hampir 50% badan jalan untuk berjualan. Mereka ini jugalah yang menyumbang sejumlah besar sampah Ciputat. 

Pasti kamu pernah melihat ini: Tumpukan sampah mulai dari kelopak jagung dan bonggol sawi serta kantong plastik terserak di tengah jalan berlubang.Terseret-seret puluhan bahkan ratusan kendaraan yang lewat menyisakan pemandangan dan aroma yang aduhai... 

 Kondisi Ciputat yang selalu macet, hari itu diperparah oleh gunungan sampah yang sama sekal tidak indah itu. 

Roda sepeda motor kami yang menginjak limbah oncom kemarin dan kol busuk tidak bergerak. Genangan air sampah yang berlumur limbah pedagang ikan dan daging menciprati rok abu-abu anakku yang baru di setrika tadi malam. 

Sambil menahan rem dan (tentu saja) menahan kesal dia cemberut karena juga takut terlambat tiba di sekolah. 

 Dalam kevakuman yang tidak nyaman itu itu aku berandai- andai, if all the pedagangs di Ciputat diwajibkan memisahkan sampah organik dan anorganik, pasti ada orang/Lembaga Swadaya Masyarakat yang mau menampung sampah organiknya untuk membuat pupuk kompos. 

Sampah anorganiknya dibungkus rapi, lalu dijual ke Lapak Daur Ulang. 

 Begitu pula di lingkungan kita masing-masing. Mulailah pemilahan sampah dari rumah. Kalau punya tanaman, buatlah pupuk. Sampah plastik dapat disumbangkan pada pemulung sekalian bersedekah. 

Selanjutnya di tingkat RT bentuklah Seksi Sampah yang digaji warga khusus menangani pemilahan sampah ini.Berdayakan masyarakat. Adakan sayembara RT Terbersih , pasar terbersih, kantor terbersih, dsb. 

 Libatkan anak-anak dan remaja untuk mencintai lingkungannya sejak dini. Insya Allah, jika kita mulai dari bawah, apa namanya? akar rumput? Indonesia akan menjadi negeri yang bersih dan sehat. 

Aku terhentak. Anakku lalu tancap gas. 

 Brmmmmmm...... 

 Ciputat 25 Februari 2015.