Kamis, 26 Februari 2015

KADU GARU



Trulung..trulung... suara air gula aren yang diciduk gayung mungil batok picung itu sangat merdu menerbitkan air liurku.
Setelah setengah hari belajar plus berjalan 1,5 km dari Pasar Sabut, Sodong , tentulah sangat sedap jika menikmati segelas cendol gula aren buatan Teh Kokom di Legok Nangka.
Aku dan To'ah duduk di bangku panjang di bawah pohon nangka Walanda. Anak-anak kecil berlari-lari di depan kami main bebentengan.
Surupuuut... ahh.. kuteguk tetes terakhir cendol arenku. Perjalanan kami masih dua kilometer lagi untuk sampai di rumah. Kuberikan limapuluh perak untuk dua gelas cendol itu.
Kami melanjutkan perjalanan melalui Kadu Garu. Dengan ranting di tangan masing-masing kami bersiap menghadapi segala bahaya.
Kadu garu adalah sebuah areal pekuburan yang yang mengundang banyak cerita.
Ia bak pendongeng yang tak kehabisan kata-kata. Dengan jenggotnya yang terbuat dari pohon-pohon bambu menjuntai ia berdiri penuh wibawa. Sinar matanya yang terpantul dari cahaya matahari yang menembus celah-celah daun menyorotkan kemilau magis membuat kami yang lewat menundukkan kepala .
Kaki-kakinya terbuat dari pohon-pohon beringin besar dengan jari kaki akar pohon yang berlipat lipat, membuat seorang jawara lemburpun tak akan bisa berselfie ria disekitar tempat itu.
Saat angin meniup ujung pepohonan itulah kami lewat. Desaunya lrih membuat kami merinding. Lorong kecil yang merupakan gerbang kuburan itu bagai mulut sang Ririwa yang menyeringai..
Tap..tap..tap.. sendal kami terasa berat dan menggema. Krik..krik.. jawab si jangkrik dan tongeret bersahut-sahutan.
Sebenarnya di seberang pekuburan itu ada sebidang peradaban yang bernama sawah. Tapi kontur tanahnya menurun sehingga terlihat agak jauh di lembah. Anehnya lagi , setiap kami lewat tak satupun petani nampak. Hanya sesekali terdengar suara bangkong atau belentung yang turut menyumbang aura magis pada tempat tersebut.
Kami berpegangan tangan. Saat itu belum ada ojek di kampungku sehingga jalanan sepi sekali.
Langit berlapis mega. Kakek Ririwa mulai bercerita. Konon di tempat ini ada harimau Silukman, eh, Siluman yang menjelma menjadi orang yang berjubah putih. Dia akan mengikuti kita di belakang, terutama di malam hari. Tapi saat kita tengok ke belakang dia menghilang.
Sedikit lagi kami akan melewati kecemasan ini dan segera bertemu dengan perkampungan Kadu Pinang.
Tiba-tiba .... prasssss.. Pohon bambu yang tumbuh subur di pinggir jalan bergoyang-goyang keras. Kami menghentikan langkah. Siaga menyambut segala kemungkinan yang ada.
Sebenarnya tiap hari kami lewat sini. Namun selalu saja keseraman itu muncul setiap melewatinya .
Daun bambu meliuk-liuk lagi. menjuntai kearah jalan seakan ingin menghalangi kami.
Si kakek berwajah seram melanjutkan cerita. Rupanya ia tak puas mempermainkan perasaan kami yang sudah rerempodan serasa tak bertulang.
Kini pohon bambu itu benar-benar melintang menghalangi jalan. Serombongan mahluk tak kukenal, mungkin tujuh atau delapan mahluk berekor panjang menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang tajam.

Tidak ada komentar: