Tahun ini adalah tahun yang penuh berkah bagiku. Betapa tidak? Aku dikaruniai kenikmatan yang tak terhingga oleh Allah dengan kehidupan yang dinamis dan bercahaya.
Dalam sebuah Renungan Sabtu Pagi aku tafakkur. Sebagian kecil karunia llah itu akan kutulis disini
Yang pertama adalah Oim
Oim yang dulu TK sekarang sudah mau ujian SMA. Sebagai seorang anak,dia adalah 'cendramata' dari Allah yang senantiasa membaeri keindahan di ruang-ruang kehidupan kami.
Sejak kecil dia sangat kritis dan tidak mau diatur, tapi dia akan sangat patuh jika apa yang dilakukannya yakin benar. Dia tidak akan berhenti bercerita jika belum sampai ke intinya, sampai kadang-kadang kita pegel mendengarkannya.
Kalau disuruh mengerjakan sesuatu dia akan bertanya dulu, kenapa harus demikian, dan dia akan menolak jika merasa tidak logis. dan sebaliknya akan mengerjakannya dengan penuh tanggung jawab jika masuk akal.
Oim juga senang berjualan. waktu kelas 3 SD dia membawa 10 buah es mambo ke sekolahnya. Waktu itu tahun 2000. Harga es mambo Rp 100,- Ia dengan sukacita membawa uang pulang.
"Laku Im?" kataku.
"Ya maa... laku semua.."
"Mana uangnya?"
"Ini..." katanya
"Kok cuma tiga ratus?"
"Waktu istirahat Oim keluar, jadi hilang enam, laku tiga dan oim
makan satu" katanya polos.
Waktu SMP dia mengalami "peer group problem", seperti yang sudah kuceritakan di "Oim dan Rokok". sehingga nilai-nilai kelas 1 dan 2 nya jeblok.
Di Ujian akhir, tiba-tiba oim berhasil mendisiplinkan diri sehingga dia dengan bangga mengumumkan padaku bahwa dia mampu sekolah di tempat yang ia dan teman-temannya inginkan. Ia, terlebih sangat bangga karena pada saat ujian beberapa temamnnya "tidak percaya diri" sehingga "membeli" jawaban soal.
"Emang ada yang jual, Im?" tanyaku innocent
"Ada maa...banyak"
Selasa, 28 Mei 2013
Suri Tauladan
Pinter!!!!!!
Setiap aku mau berangkat mengajar, anakku (8 tahun) selalu bertanya jam berapa akan pulang . Dia menatap mataku dengan sungguh-sungguh untuk mendengar angka yang kusebutkan.
"Jam lima!" jawabku , dan dia akan selalu menawar agar aku datang lebih cepat. Atau dia akan mengatakan,
"Bener ya jam lima..., awas ya jangan kayak kemaren, bilangnya jam lima tapi mamah malah datang setengah tujuh !!! "
"Iya..iya...!" kataku sambil bergegas berangkat.
Suatu hari aku terlambat lagi dari waktu yang sudah kami sepakati. Aku tiba di rumah jam setengah delapan karena ada latihan persiapan performance di sekolah sampai jam empat. Setelah itu meeting panitia, dan jalanan Pondok Pinang Ciputat macet parah.
Anakku sedang di masjid untuk shalat isya bersama teman-temannya. Aku menjemputnya di depan masjid setelah ia selesai shalat. Dia keluar, melihatku sekilas, mengenakan sendal jepit oranyenya, lalu berjalan ke arahku.
Ia melotot, menyerahkan mukena pink-nya yang terbungkus sajadah dan berkata sambil menunjuk pergelangan tangannya,
"Ini jam lima? Pinterrrr!!!! "
Tak tahu harus bereaksi apa, , aku malah tertawa terbahak-bahak. Ia melengos melewatiku, pulang duluan.
==============================
Beberapa hari kemudian, saat suasana hatinya sedang nyaman, sambil duduk-duduk minum teh hangat di teras rumah, kami membahas kejadian itu. Dia bertanya:
"Mah, kenapa sih mamah suka break your promise?"
"Yang mana?"
"Banyak.. terutama yang pulang telat. Kakak kan nggak mau ngaji kalau di mesjid ga ada mama."
"Oh... ituuu.. ya..ya, nanti mama jawab, tapi kenapa ya kemaren kakak bilang pada mama bahwa mama "pinter" waktu mama telat?"
Dia tersenyum. Aku menambahkan, "Bukannya pinter disitu nggak tepat kak? kata pinter tuh biasanya diucapkan dalam kata-kata pujian, misalnya, "Aduh kaka pinter deh merapikan tempat tidur sendiri"
"Mama tidak merasa pernah ngajarin kakak kata-kata itu, kan?"
"Maaf ya mah, it's not your fault" katanya sambil menunjuk mulutku.
"Who is it then?"
"It was my ugly ugly ugly sister, Teta"
"Really? kapan dia bilang gitu?"
Sambil memperagakan sesuatu, anakku menjelaskan, saat aku tidak ada di rumah, dan Teta, kakaknya (18 tahun) mengambil alih tanggung jawab kerapihan rumah, dia dengan tanpa sengaja menumpah kan teh manis di atas meja.
"Cinta? kenapa tehnya ditumpahkan? pinterrr!"
Setiap aku mau berangkat mengajar, anakku (8 tahun) selalu bertanya jam berapa akan pulang . Dia menatap mataku dengan sungguh-sungguh untuk mendengar angka yang kusebutkan.
"Jam lima!" jawabku , dan dia akan selalu menawar agar aku datang lebih cepat. Atau dia akan mengatakan,
"Bener ya jam lima..., awas ya jangan kayak kemaren, bilangnya jam lima tapi mamah malah datang setengah tujuh !!! "
"Iya..iya...!" kataku sambil bergegas berangkat.
Suatu hari aku terlambat lagi dari waktu yang sudah kami sepakati. Aku tiba di rumah jam setengah delapan karena ada latihan persiapan performance di sekolah sampai jam empat. Setelah itu meeting panitia, dan jalanan Pondok Pinang Ciputat macet parah.
Anakku sedang di masjid untuk shalat isya bersama teman-temannya. Aku menjemputnya di depan masjid setelah ia selesai shalat. Dia keluar, melihatku sekilas, mengenakan sendal jepit oranyenya, lalu berjalan ke arahku.
Ia melotot, menyerahkan mukena pink-nya yang terbungkus sajadah dan berkata sambil menunjuk pergelangan tangannya,
"Ini jam lima? Pinterrrr!!!! "
Tak tahu harus bereaksi apa, , aku malah tertawa terbahak-bahak. Ia melengos melewatiku, pulang duluan.
==============================
Beberapa hari kemudian, saat suasana hatinya sedang nyaman, sambil duduk-duduk minum teh hangat di teras rumah, kami membahas kejadian itu. Dia bertanya:
"Mah, kenapa sih mamah suka break your promise?"
"Yang mana?"
"Banyak.. terutama yang pulang telat. Kakak kan nggak mau ngaji kalau di mesjid ga ada mama."
"Oh... ituuu.. ya..ya, nanti mama jawab, tapi kenapa ya kemaren kakak bilang pada mama bahwa mama "pinter" waktu mama telat?"
Dia tersenyum. Aku menambahkan, "Bukannya pinter disitu nggak tepat kak? kata pinter tuh biasanya diucapkan dalam kata-kata pujian, misalnya, "Aduh kaka pinter deh merapikan tempat tidur sendiri"
"Mama tidak merasa pernah ngajarin kakak kata-kata itu, kan?"
"Maaf ya mah, it's not your fault" katanya sambil menunjuk mulutku.
"Who is it then?"
"It was my ugly ugly ugly sister, Teta"
"Really? kapan dia bilang gitu?"
Sambil memperagakan sesuatu, anakku menjelaskan, saat aku tidak ada di rumah, dan Teta, kakaknya (18 tahun) mengambil alih tanggung jawab kerapihan rumah, dia dengan tanpa sengaja menumpah kan teh manis di atas meja.
"Cinta? kenapa tehnya ditumpahkan? pinterrr!"
Rabu, 15 Mei 2013
Sebuah Catatan buat Ibu Kepala Sekolah
Be on time!
Pagi yang cerah di Parung Benying.
Oleh sebab ada libur di sekolah tempatku mengajar, aku beruntung dapat
mengantarkan anakku yang masih SD ke sekolahnya dengan bersepeda. Waktu
menunjukkan jam jam tujuh kurang dua puluh menit ketika kami sampai di sekolah,
artinya masih ada beberapa saat bagi anakku untuk bermain bersama
teman-temannya sebelum bel masuk berdentang.
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan
anakku dan teman-temannya, aku menuruni bukit dimana sekolah itu berdiri,
meraih dan mengayuh sepedaku untuk
kembali pulang.
Tak berapa jauh aku menggowes,
di kejauhan, tampak seorang anak yang berseragam sama dengan anakku,
berjilbab, kemeja putih panjang, dan rok hijau panjang setumit, berlari
terengah-engah menyeret tangan ibunya dan tas berat di punggungnya, menuju
sekolah itu. Mungkin ada waktu sekitar empat atau lima menit lagi bagi anak
itu untuk sampai di kelas.
Aku menghentikan kayuhan
sepedaku, memperhatikan wajahnya yang manis. Ibunya, khas ibu-ibu kantoran,
berlari-lari kecil dibelakangnya, memperbaiki letak tas tangannya yang bergoyang-goyang. Gadis
kecil itu masih dapat tersenyum sambil
bercakap-cakap dengan sang ibu.
“Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet”
Tepat ketika ia sedang akan
meniti anak-anak tangga kecil di tanjakan halaman sekolah itu, bel masuk
berbunyi. Mereka mempercepat langkahnya.
Aku cemas sekaligus terpesona dengan
pemandangan itu. Kulihat anak-anak yang sedang bermain tadi langsung berbaris
dengan rapi di depan kelasnya masing-masing. Tinggal dua anak tangga lagi gadis
kecil manis itu mencapai halaman. Ia berhenti melangkah dan menundukkan
kepalanya. Ia tahu akan ada masalah.
Ibunya melepas tangan anak itu, berlari menuju ibu gurunya yang sedang membimbing siswa siswi berbaris.
Sang ibu terlihat menggerakkan
tangan ke dadanya seolah meminta maaf, lalu menunjuk anaknya yang sedang
menunduk lesu, memohon agar anaknya boleh masuk. Ibu guru tersenyum,
menggelengkan kepalanya, menggumamkan kata-kata yang tentu saja tak kudengar.
Sang ibu masih menawar. Ibu guru menunjuk ke papan peraturan.
Dengan langkah gontai si ibu
berbalik dan meraih tangan anaknya untuk
pulang. Si gadis kecil memeluk ibunya, menangis. Ibunya mengusap
kepalanya. Aku melihat kesedihan yang dalam dimata kedua manusia itu ketika
mereka melewatiku.
Aku membayangkan, betapa repotnya Naya
(belakangan aku mengetahui namanya dari anakku yang ternyata sekelas
dengannya), menyiapkan dirinya untuk berangkat sekolah. Pasti tak jauh berbeda dengan
anak-anak lain seusianya; bangun pagi
dengan berat hati, mandi setelah disuruh berulangkali, sarapan, pakai seragam,
dan tetek bengek lainnya. Dan justru pada saat ia dapat melewati semua itu ia
ditolak oleh sekolah.
Pasti Naya merasa diperlakukan
tidak adil. Betapa tidak? Ia yang sudah melakukan apa yang seharusnya ia
lakukan sebelum berangkat sekolah, justru harus pulang kembali dalam
kebingungan. Ia bingung mau ngapain, karena seluruh jiwa
raganya hanya tercurah pada sekolahnya.
Bermain? Ia tidak tahu harus bermain
dengan siapa, karena semua anak seusianya sedang disekolah pada saat itu.
Bermain dengan ibu? Apa lagi! Ibu sudah berangkat ke kantor setelah menghibur
dan mengomelinya sedikit tadi. Paling-paling ia hanya berharap pada pengasuhnya
yang sudah sibuk dengan pekerjaan rumah
yang menumpuk.
Itulah yang kira-kira terjadi
pada Naya. Di sisi lain, aku memberikan two
thumbs up kepada sekolah anakku yang terletak di sebuah kompleks kecil Vila
Dago Tol di bilangan Ciputat itu. Jika datang lebih dari jam tujuh, walaupun
itu hanya satu menit, siswa harus dipulangkan, tanpa reserve!
“JIKA ADA PIHAK-PIHAK YANG TIDAK SEPAKAT DENGAN PERATURAN INI, HARAP
MENEMUI KEPALA SEKOLAH, IBU HAJJAH FULANAH” begitulah bunyi lanjutan dari pengumuman
yang tertulis di depan kantor tata usaha sekolah itu.
Sebagai orang tua murid, aku
tidak akan menemui ibu kepala sekolah yang disiplin itu hanya untuk protes. Aku
akan menemuinya kelak untuk mengucapkan terimakasih karena peraturan yang ia
buat membuat anakku bangun sangat pagi karena takut terlambat.
***
Langganan:
Postingan (Atom)