Aku mengenalnya saat aku menjadi panitia Ospek di sekolahku, Perguruan
Mathlaul Anwar Menes, Banten. Saat itu aku kelas dua Madrasah Aliyah
(SMA) dan Yoyoh baru akan masuk
Madrasah Tsanawiyah (SMP). Kedua tingkatan sekolah di situ menggabungkan acara perkenalan siswa tersebut sehingga aku
mengenal Yoyoh di hari pertama ia masuk. Ia jatuh pingsan saat upacara pembukaan Ospek karena kelelahan dan belum sarapan.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa sampai akhirnya aku kuliah di
IAIN Ciputat, Jakarta, bersama-sama dengan beberapa teman dan juga M. Zen, kakak kandungnya.
Tahun ketiga atau semester 6 kuliahku, Yoyoh menyusul kami ke Ciputat.
Saat itu ia baru lulus SMP dan akan melanjutkan ke MAN Pembangunan Ciputat, suatu langkah yang cukup
berani menurut pemikiranku, mengingat ia sangat belia pada saat itu.
Ia mungil, cantik dan ceria. Berkulit cerah dan rambut hitam lebat, ia
nampak lebih dewasa dari usianya, berbeda sekali dengan keadaannya 3 tahun
sebelumnya. Segera ia dapat beradaptasi dengan kami, para mahasiswai/i, yang usianya sangat
jauh dengannya, bahkan ia tinggal bersama kami, di kontrakan para
mahasiswi.
Lulus dari MAN Pembangunan (semacam Labschool-nya IAIN), Yoyoh
diterima kuliah di jurusan Administrasi Niaga UI. Sementara itu aku sedang
merampungkan tugas akhirku di IAIN. Skripsiku rada ngaret karena aku kurang rajin berkonsultasi dengan dosen
pembimbingku. Selain itu, perbaikan-perbaikan
skripsi yang ditulis manual membuatku harus mengulang mengetik dari halaman
awal.
Suatu hari, Yoyoh melihatku mengetik skripsi dengan mesin tik brother dan
aku lambat sekali mengetiknya. Ia mengambil alih pekerjaanku. “Sini aku
ketikin!” katanya. Karena Yoyoh kuliah di jurusan yang ada kata administrasi-nya,
pastilah di kelas ada pelajaran mengetik, pikirku. Ia mampu
mengetik sepuluh jari!
Tanpa bimbang ia menawariku mengetikkan skripsiku sampai selesai.
Tentu dengan sangat senang hati aku menerima special offer itu. Dengan sabar ia menunggu bab demi bab
skripsiku untuk dituliskan olehya.
Free of Charge !!
***
Tahun 1990 kala itu. Komputer mulai merambah kios-kios kecil di jalan
Pesanggrahan sebelah kampusku, lalu secara sporadis
bermunculan rental-rental komputer yang ramai disesaki para mahasiswa.
Lagi-lagi Yoyoh menawarkan kebaikannya untuk memperbaiki tulisan skripsiku.
"Enak teh, benerinnya ga perlu pake tip-ex" katanya sambil menarik
kertas-kertas di tanganku tanpa menunggu pertimbanganku yang nggak enak hati.
Membuat aku terbengong-bengong. Aku tidak mengerti mengapa ia begitu baik. Hiks.
Sepertinya, belajar adalah hobinya. Sambil kuliah, ia kursus bahasa Inggris
di IEC Pondok Pinang dan sangat enthusiastic menunggu
Sunday Meeting, di mana ia dan teman-temannya berdiskusi
tentang berbagai topik. Aku yang sudah ikut LIA Basic 4 ga ada apa-apanya dibanding Yoyoh. Ia
sangat confident berkomunikasi
dalam bahasa Inggris, dan ia kutu buku, sehingga buku-buku berbahasa Inggris pun dengan mudah dipahaminya.
Entah bagaimana cara apa dan Ibu (orang tuanya) mendidik Yoyoh. Pada saat
remaja, kala teman-teman sebayanya mulai senang dengan mode atau gaya hidup
terbaru, ia bahkan senang mendengarkan acara-acara radio yang
"serius", seperti diskusi interaktif di Trijaya FM (sekarang Sindo
Radio), atau membaca berita politik atau wirausaha.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar