Warisan
Hai anak-anakku
aku punya sepetak sawah dan sebidang kebun
aku punya sebuah rumah dan lemari jati
aku punya rekening tabungan dan polis asuransi
aku punya kasur, bantal, kipas angin dan piring gelas
aku juga punya sedikit ilmu
aku punya keinginan
aku punya harapan
aku punya impian
Oh..
Aku juga punya utang
Utang uang
utang janji
utang cita-cita dan impian
aku ingin mewariskan semua itu pada kalian
Sebelum sawah dan kebun kering
atau terbengkalai bahkan habis oleh pembangunan..
tanamilah dan peliharalah...
itu adalah modal
hasilkan bekal dan oksigen
makanlah dan berbagilah
Rumah kita
adalah tempat berlindung dari panas dan ketakutan
Bersihkan dan peliharalah sebelum ia roboh
jika kalian dewasa nanti, ajaklah anak yatim tinggal disini
Anak-anakku
Ilmu yang sedikit kumiliki
tambahilah sebanyak-banyaknya
ilmu yang banyak tak akan memberatkan
Kebaikan yang secuil kulakukan
perbanyaklah
Niscaya banyak orang yang memetik manfaat darimu
Harta yang tak seberapa
ilmu yang alakadarnya
Kebaikan dan impian yang belum terlaksana
ingin kuwariskan kepadamu
Jadilah pejuang-penjuang Islam
Kibarkanlah bendera kebaikan
Tebarkanlah perdamaian dan manfaat
bagi sesama
Selamat berjuang anak-anakku...
Selasa, 12 November 2013
Menuruni kereta, Merdeka !!!
Lagi-lagi cerita dalam kereta
Sudimara-Kebayoran. Saat aku mau naik kereta langsam jurusan Tanah Abang, aku
berbarengan naik dengan ibu Nana.
O ya sedikit aku mau bercerita
tentang ibu yang satu ini. Dia kenalanku sesama “kereta lovers”. Dia seorang
guru di SD Negeri Kebayoran lama. Jadi aku sering banget bareng sama dia. Entah
karena kita sama-sama guru, atau memang sering ketemu, maka pertemanan kami
lumayan baik.
Tapi berbeda denganku, bu Nana
adalah seorang ibu yang sangat memperhatikan penampilan ; Di usianya yang
menjelang setengah abad, wajahnya cerah terawat, kuku- kuku kaki dan tangannya
bagus, bercuteks dan panjang (konon ia meni pedi sebulan sekali). Sepatunya
kulit mengkilap dan selalu matching dengan pakaian seragam mengajarnya setiap
hari.
Ia memiliki dua putera. Satu bekerja di Amerika, yang ke dua di Jakarta, seorang pengusaha. Jadilah ia tinggal berdua saja dengan suaminya.
Berperawakan
mungil dan ramping, ia juga ramah dan sopan. Nah, hari itu kami naik
berbarengan. Seperti biasa penumpang kereta padat sampai di pintu dan pembatas
gerbong. Kami berusaha naik dan berhasil.
Di depan kami persis ada seorang
ibu yang tingginya setinggi ibu Nana. Ia tampak sedang memakan sesuatu, mungkin
makan sirih. Dia menenteng
keranjang bawaan di tangan
kirinya. Ia juga pejuang kemerdekaan seperti kami.
“ “Eh ibu…”
kataku pada ibu Nana. “Kok naik kereta ini? Biasanya komuter lain
(commuter line, red.) ?” aku memulai percakapan sambil memperhatikan
kerudungnya yang bagus. Sayang sekali jika kerudungnya itu kesenggol pedagang pisang atau pemasok bebek, hehe…
“Iya nih,” katanya terengah-engah.
“Komuter yang duluan udah lewat. Kesiangan
tadi, takut telat nih...”
Kami berdiri bersisian, menghadap
ke gerbong depan yang penuh sesak oleh para penumpang. Selain ibu yang sedang
makan tadi, beragam penumpang lain yang kira-kira terdiri dari para pekerja buruh,
pedagang asongan, anak-anak sekolah, guru-guru
seperti kami, dan juga ibu-ibu penggendong anak yang berprofesi sebagai
penumpang dadakan jalur “Three In One”
“Eh bu Endoh.. kemana ya Bu Eli?
Aku sudah lama nggak ketemu dia?, “ Tanya bu Nana. Bu Eli adalah seorang teman
seperjalanan kami ynag mengajar di SMA swasta di Pondok Indah.
”Oh? Iya juga yaa.., saya juga
sudah lama, mungkin dia naik angkot sekarang ke sekolahnya.” Jawabku sekenanya.
“Kenapa? Bu Nana kangen yaa?” candaku.
“Bukan begitu.. dia kan pinjem
selendangku, katanya buat kondangan… udah lamaaa banget nggak dikembalikan!”
kata ibu Nana bernada keluhan. Dahinya berkerut dan alisnya melengkung.
“O ya?” kataku, semoga terdengar
lumayan menghibur. “Mungkin dia lupa atau susah mencari ibu Nana..” kataku.
“Maklum kereta api kan banyak dan beda-beda jamnya”. Bu Nana mengangguk.
Saat kami asyik bercakap-cakap, ibu pemakan sirih tadi
tiba-tiba mendengus, menghamburkan aroma tertentu pada muka si ibu Nana yang
cantik. Serta merta ibu Nana memalingkan muka . Si ibu didepannya
terlihat tersinggung dan meradang.
” Heh.. emang napas saya bau, apa?” si ibu penyirih melotot.
Ibu Nana kaget. “Sial.. bukannya minta maaf…..”, mungkin itu yang dipikir bu
Nana. Maka dia mennjawab,
“Emang kenapa kalo saya
memalingkan muka?” kata bu Nana tak kalah sewot. “Emang situ bau!” katanya
berani. Sepertinya adu mulut cukup berimbang. Mereka berdua kemudian diam.
Kereta berjalan cepat berderak-derak. Penumpang lain menahan komentar di hati
masing-masing.
Di
stasiun berikutnya (pondok Ranji), ratusan penumpang (eh lebay, ya…) naik lagi
ke gerbong kami. Ibu Nana dan aku juga tentunya makin terdesak. Si ibu penyirih
didepannya makin mendekat dan menempel pada bu Nana. Ibu Nana menjerit.
“Aw!” teriak bu Nana mendorong tangan ibu penyirih
yang menenteng keranjang plastic itu.
“Kenapa
sih ibu ini? Sok banget? Emang keretanya padet!” ibu penyirih memulai
pertarungan lagi.
“T*t*k
saya.. sakkkit!” kata bu Nana keras sekali. Dia berusaha melindungi dadanya
dengan tangannya. Tidak bisa. Didalam kepadatan kereta seperti itu, kita
bahkan tidak dapat menggerakkan
tangan sekalipun.
Aneh.. tak seorangpun tertawa
atau tersenyum simpul mendengar bu Nana menyebut kata itu. Ia hampir menangis. Akupun
Cuma meringis membayangkan betapa sakitnya dada bu Nana kesikut tangan ibu di
depannya.
Tapi ibu penyirih terlanjur murka. Ia
sepertinya sudah kehilangan rasa. “Dari tadi kamu emang sok cakep!” katanya
kejam. Ibu Nana terus mengaduh. Dia berusaha mundur barang setapak. Tapi
kakinya tetap tak beranjak. Tanpa mempedulikan si ibu penyirih tadi bu Nana
menangis. “Ini tet*k masalahnya.. sakit sekali..hiks..hiks….”
Aku hanya bisa berdo'a dalam hati semoga kami
segera sampai di Kebayoran lalu turun dari kereta Langsam untuk mencapai
kemerdekaan…
Langganan:
Postingan (Atom)