Be on time!
Pagi yang cerah di Parung Benying.
Oleh sebab ada libur di sekolah tempatku mengajar, aku beruntung dapat
mengantarkan anakku yang masih SD ke sekolahnya dengan bersepeda. Waktu
menunjukkan jam jam tujuh kurang dua puluh menit ketika kami sampai di sekolah,
artinya masih ada beberapa saat bagi anakku untuk bermain bersama
teman-temannya sebelum bel masuk berdentang.
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan
anakku dan teman-temannya, aku menuruni bukit dimana sekolah itu berdiri,
meraih dan mengayuh sepedaku untuk
kembali pulang.
Tak berapa jauh aku menggowes,
di kejauhan, tampak seorang anak yang berseragam sama dengan anakku,
berjilbab, kemeja putih panjang, dan rok hijau panjang setumit, berlari
terengah-engah menyeret tangan ibunya dan tas berat di punggungnya, menuju
sekolah itu. Mungkin ada waktu sekitar empat atau lima menit lagi bagi anak
itu untuk sampai di kelas.
Aku menghentikan kayuhan
sepedaku, memperhatikan wajahnya yang manis. Ibunya, khas ibu-ibu kantoran,
berlari-lari kecil dibelakangnya, memperbaiki letak tas tangannya yang bergoyang-goyang. Gadis
kecil itu masih dapat tersenyum sambil
bercakap-cakap dengan sang ibu.
“Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet”
Tepat ketika ia sedang akan
meniti anak-anak tangga kecil di tanjakan halaman sekolah itu, bel masuk
berbunyi. Mereka mempercepat langkahnya.
Aku cemas sekaligus terpesona dengan
pemandangan itu. Kulihat anak-anak yang sedang bermain tadi langsung berbaris
dengan rapi di depan kelasnya masing-masing. Tinggal dua anak tangga lagi gadis
kecil manis itu mencapai halaman. Ia berhenti melangkah dan menundukkan
kepalanya. Ia tahu akan ada masalah.
Ibunya melepas tangan anak itu, berlari menuju ibu gurunya yang sedang membimbing siswa siswi berbaris.
Sang ibu terlihat menggerakkan
tangan ke dadanya seolah meminta maaf, lalu menunjuk anaknya yang sedang
menunduk lesu, memohon agar anaknya boleh masuk. Ibu guru tersenyum,
menggelengkan kepalanya, menggumamkan kata-kata yang tentu saja tak kudengar.
Sang ibu masih menawar. Ibu guru menunjuk ke papan peraturan.
Dengan langkah gontai si ibu
berbalik dan meraih tangan anaknya untuk
pulang. Si gadis kecil memeluk ibunya, menangis. Ibunya mengusap
kepalanya. Aku melihat kesedihan yang dalam dimata kedua manusia itu ketika
mereka melewatiku.
Aku membayangkan, betapa repotnya Naya
(belakangan aku mengetahui namanya dari anakku yang ternyata sekelas
dengannya), menyiapkan dirinya untuk berangkat sekolah. Pasti tak jauh berbeda dengan
anak-anak lain seusianya; bangun pagi
dengan berat hati, mandi setelah disuruh berulangkali, sarapan, pakai seragam,
dan tetek bengek lainnya. Dan justru pada saat ia dapat melewati semua itu ia
ditolak oleh sekolah.
Pasti Naya merasa diperlakukan
tidak adil. Betapa tidak? Ia yang sudah melakukan apa yang seharusnya ia
lakukan sebelum berangkat sekolah, justru harus pulang kembali dalam
kebingungan. Ia bingung mau ngapain, karena seluruh jiwa
raganya hanya tercurah pada sekolahnya.
Bermain? Ia tidak tahu harus bermain
dengan siapa, karena semua anak seusianya sedang disekolah pada saat itu.
Bermain dengan ibu? Apa lagi! Ibu sudah berangkat ke kantor setelah menghibur
dan mengomelinya sedikit tadi. Paling-paling ia hanya berharap pada pengasuhnya
yang sudah sibuk dengan pekerjaan rumah
yang menumpuk.
Itulah yang kira-kira terjadi
pada Naya. Di sisi lain, aku memberikan two
thumbs up kepada sekolah anakku yang terletak di sebuah kompleks kecil Vila
Dago Tol di bilangan Ciputat itu. Jika datang lebih dari jam tujuh, walaupun
itu hanya satu menit, siswa harus dipulangkan, tanpa reserve!
“JIKA ADA PIHAK-PIHAK YANG TIDAK SEPAKAT DENGAN PERATURAN INI, HARAP
MENEMUI KEPALA SEKOLAH, IBU HAJJAH FULANAH” begitulah bunyi lanjutan dari pengumuman
yang tertulis di depan kantor tata usaha sekolah itu.
Sebagai orang tua murid, aku
tidak akan menemui ibu kepala sekolah yang disiplin itu hanya untuk protes. Aku
akan menemuinya kelak untuk mengucapkan terimakasih karena peraturan yang ia
buat membuat anakku bangun sangat pagi karena takut terlambat.
***
2 komentar:
tq oim atas editannya. inget ga waktu kamu sering terlambat di sma 34?
intinya si guru juga harus humanis. kedisiplinan harus ditegakkan sambil memikirkan kepatutan.
kalau di dunia hukum, seorang hakim memutus perkara dengan dasar Keadilan, Kepastian hukum, dan Kemanfaatan.
Ketiga hal tersebut jangan (dan memang tidak perlu) dipisah-pisahkan.
hehe :D
Posting Komentar