Rabu, 15 Mei 2013

Sebuah Catatan buat Ibu Kepala Sekolah


Be on time!


Pagi yang cerah di Parung Benying. Oleh sebab ada libur di sekolah tempatku mengajar, aku beruntung dapat mengantarkan anakku yang masih SD ke sekolahnya dengan bersepeda. Waktu menunjukkan jam jam tujuh kurang dua puluh menit ketika kami sampai di sekolah, artinya masih ada beberapa saat bagi anakku untuk bermain bersama teman-temannya sebelum bel masuk berdentang. 

Setelah bercakap-cakap sebentar dengan anakku dan teman-temannya, aku menuruni bukit dimana sekolah itu berdiri, meraih dan mengayuh sepedaku  untuk kembali pulang. 

Tak berapa jauh aku menggowes, di kejauhan, tampak seorang anak yang berseragam sama dengan anakku, berjilbab, kemeja putih panjang, dan rok hijau panjang setumit, berlari terengah-engah menyeret tangan ibunya dan tas berat di punggungnya, menuju sekolah itu. Mungkin ada waktu sekitar empat atau lima menit lagi bagi anak itu untuk sampai di kelas.

Aku menghentikan kayuhan sepedaku, memperhatikan wajahnya yang manis. Ibunya, khas ibu-ibu kantoran, berlari-lari kecil dibelakangnya, memperbaiki letak tas tangannya yang bergoyang-goyang. Gadis kecil itu masih dapat tersenyum sambil bercakap-cakap dengan sang ibu.

“Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet”
Tepat ketika ia sedang akan meniti anak-anak tangga kecil di tanjakan halaman sekolah itu, bel masuk berbunyi. Mereka mempercepat langkahnya.

Aku cemas sekaligus  terpesona dengan pemandangan itu. Kulihat anak-anak yang sedang bermain tadi langsung berbaris dengan rapi di depan kelasnya masing-masing. Tinggal dua anak tangga lagi gadis kecil manis itu mencapai halaman. Ia berhenti melangkah dan menundukkan kepalanya. Ia tahu akan ada masalah. 

Ibunya melepas tangan anak itu, berlari menuju ibu gurunya yang sedang membimbing siswa siswi  berbaris.

Sang ibu terlihat menggerakkan tangan ke dadanya seolah meminta maaf, lalu menunjuk anaknya yang sedang menunduk lesu, memohon agar anaknya boleh masuk. Ibu guru tersenyum, menggelengkan kepalanya, menggumamkan kata-kata yang tentu saja tak kudengar. Sang ibu masih menawar. Ibu guru menunjuk ke papan peraturan.

Dengan langkah gontai si ibu berbalik dan meraih tangan anaknya untuk  pulang. Si gadis kecil memeluk ibunya, menangis. Ibunya mengusap kepalanya. Aku melihat kesedihan yang dalam dimata kedua manusia itu ketika mereka melewatiku. 

Aku membayangkan, betapa repotnya Naya (belakangan aku mengetahui namanya dari anakku yang ternyata sekelas dengannya), menyiapkan dirinya untuk berangkat sekolah. Pasti tak jauh berbeda dengan anak-anak lain seusianya;  bangun pagi dengan berat hati, mandi setelah disuruh berulangkali, sarapan, pakai seragam, dan tetek bengek lainnya. Dan justru pada saat ia dapat melewati semua itu ia ditolak oleh sekolah.

Pasti Naya merasa diperlakukan tidak adil. Betapa tidak? Ia yang sudah melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sebelum berangkat sekolah, justru harus pulang kembali dalam kebingungan. Ia  bingung mau ngapain, karena seluruh jiwa raganya hanya tercurah pada sekolahnya. Bermain? Ia tidak tahu harus bermain dengan siapa, karena semua anak seusianya sedang disekolah pada saat itu. Bermain dengan ibu? Apa lagi! Ibu sudah berangkat ke kantor setelah menghibur dan mengomelinya sedikit tadi. Paling-paling ia hanya berharap pada pengasuhnya yang sudah sibuk dengan pekerjaan rumah yang menumpuk.

Itulah yang kira-kira terjadi pada Naya. Di sisi lain, aku memberikan two thumbs up kepada sekolah anakku yang terletak di sebuah kompleks kecil Vila Dago Tol di bilangan Ciputat itu. Jika datang lebih dari jam tujuh, walaupun itu hanya satu menit, siswa harus dipulangkan, tanpa reserve!

“JIKA ADA PIHAK-PIHAK YANG TIDAK SEPAKAT DENGAN PERATURAN INI, HARAP MENEMUI KEPALA SEKOLAH, IBU HAJJAH FULANAH”  begitulah bunyi lanjutan dari pengumuman yang tertulis di depan kantor tata usaha sekolah itu.  

Sebagai orang tua murid, aku tidak akan menemui ibu kepala sekolah yang disiplin itu hanya untuk protes. Aku akan menemuinya kelak untuk mengucapkan terimakasih karena peraturan yang ia buat membuat anakku bangun sangat pagi karena takut terlambat.

***

2 komentar:

e-ndoh mengatakan...

tq oim atas editannya. inget ga waktu kamu sering terlambat di sma 34?

Neev's BLog mengatakan...

intinya si guru juga harus humanis. kedisiplinan harus ditegakkan sambil memikirkan kepatutan.

kalau di dunia hukum, seorang hakim memutus perkara dengan dasar Keadilan, Kepastian hukum, dan Kemanfaatan.

Ketiga hal tersebut jangan (dan memang tidak perlu) dipisah-pisahkan.

hehe :D