Senin, 18 Agustus 2008

Oim dan mencuci pakaian

sudah beberapa bulan ini oim dan teta mencuci pakaian sendiri. sekalian mencuci pakaian lain, aku atau teh Nok merendamkannya untuk mereka, supaya pas mreka nyuci kotorannya sudah lepas.
So far it runs well. Mereka dapat memilih waktu mencucinya sepulang dari sekolah. Tetapi akhir-akhir ini Oim sering mengeluh dan protes jika melhat tumpukan cuciannya di ember.
"Ma, what's the difference between me and a servant?" tulisnya besar-besar di layar monitor. Aku mengajak dia duduk untuk mendiskusikannya. Aku memintanya, untuk kesekian kali, untuk mengerti bahwa setiap orang adalah sama. Yang membedakan adalah prestasinya di mata Allah, bahwa kita harus (belajar)mandiri dan bertanggung jawab, bla..bla..bla,
Sepertinya dia paham, dan untuk sementara kondisi aman terkendali
Tapi suatu hari selepas magrib, dia minta biara 4 mata denganku. Wah serius nih! pikirku.
"Ma, sekali lagi Oim mau omongin soal cuci mencuci ini." tembaknya.Wajahnya kelihatan lelah dan menahan marah.
Aku bersiap-siap." Emangnya kenapa?"
"Coba mama perhitungkan, beban Oim ini seberapa banyak..mmm ...mungkin enggak beda jauh sama mama," katanya. "Dari pagi Saya belajar sampai sore, lalu semua guru pada gila ngasih PR, belum selesai PR Oim, rendeman cucian menunggu di kamar mandi.Oim bisa gila maa..." tambahnya berapi-api.
Aku memandangnya, menyiapka kata-kata untuk menjawabnya. Tapi keduluan,
"Tapa apakah mama mencuci juga ? idak kan? Baju-baju mama dicucikan teh Nok " serobotnya tak terendung. Wah....
"Oke..Oke," sergahku. "Mama memang tidak mencuci, tapi mengerjakan yang lain.." Aku mengukur-ukur apakah jawaba ini seimbang buatnya.
"Tapi nggak tiap hari..." matanya mulai mendung.
" Baik, Oim maunya bagaimana?" potongku.
"Sekarang aja oim udah ngak punya tenaga..."air matanya jatuh.
OH, anakku!! Lalu dia diam sejenak.
"Oim mau serius sekolahnya. Di SMA ini berat bebannya, jadi jika masih seperti sekarang ini, jangan salahkan jika prestasi Oim anjlok.."
Aku memandang anak laki-laki semata wayangku itu. Memandang badannya yang kurus. Memandang keputusasaan dan kesedihannya.
"Sini deh.." aku memintanya mendekat. Dia menggeleng. Dia ingin kepastian. Kepastian untuk tidak mencuci pakaiannya tentunya.
"Oim, maaf, selama ini mama menganggap Oim itu sudah hebat, karena mampu belajar mandiri dan bertanggung jawab. Jika saja Oim bisa mengatur waktu, misalnya mencuci dua hari sekali atau seminggu sekali.."
"Tidak bisa maa., it's getting worst"
"Kumaha atuh?" kataku kehabisan akal.
"Oim itu masih anak-anak ma...coba atuh..berikan Oim "pelajaran bertanggung jawab"
bukan "bertanggung jawab penuh",
..................

2 komentar:

jojo mengatakan...

tuh kaaaan... aku bilang juga apa, teh endoh itu bagus kalo nulis. Baru posting kedua aja, aku dah dibikin senyum-senyum sendiri, sedih, juga terbengong-bengong membayangkan serunya pagi hari kalo anak-anak mau sekolah. BTW, Mizan mau lho nerbitin tulisan-tulisan yang bentuknya memoar kayak gini. Aku aja dah ditawarin. dah nemu sih judulnya, tapi masih males nulisnya. aku masih merasa banyak kurang dalam nulis, terutama karena masih banyak jaimnya. lagi berusaha ngilangin jaim dulu dalam tulisanku. Kalo tulisan teh endoh dah ilang tuh jaimnya.... selamat ya atas peluncuran blog-nya, keep writing, and just trust that it will bring you to something....

e-ndoh mengatakan...

hai, apa kabar kaka dan adik?