Kamis, 14 Agustus 2008

posting kedua..

RENUNGAN SABTU PAGI

Tulisan ini diberi judul renungan sabtu pagi, karena ditulisnya setiap sabtu pagi. Biasanya abis shalat subuh.-

Suatu sore datang seorang keponakanku yang baru saja diterima kerja di sebuah sekolah bilingual untuk pra TK di bilangan Pondok Indah. Itu adalah pekerjaan pertamanya setelah sekian tahun kuliah di fakultas pendidikan jurusan bahasa Inggris UIN Jakarta, jadi dia masih merasa nervous untuk memulai hari pertamanya.

“Can I handle the kids ya bi?” tanyanya padaku. Aku berfikir sejenak dan menjawab sekenanya. “hmmm..bagaimana kalo kamu… latihan dulu?”

“Maksudnya?”tanyanya antusias.

“Mengajari anak-anak bibi dulu. Mereka ‘kan beragam tingkat pendidikannya; ada yang tk, sd, smp dan juga sma”

Keponakanku melotot.

“Tidak, terimakasih!” katanya kalem sambil tersenyum manis sekali.

No wonder. Jawaban yang masuk akal, pikirku saat itu.

Tapi terus terang, Ya Tuhan, I was surprised dengan jawabanku sendiri, karena ternyata benar kata-kataku tadi. Benar-benar terjadi. Bukan hanya seloroh.

Ternyata….

Oim baru saja berhasil diterima di kelas 1 SMA beberapa hari yang lalu (Wah Oim udah SMA, man!), rasanya baru kemarin mengantarnya ke sekolah TK di hari pertama.

Teta sukses masuk MTs kelas satu, Ola Alhamdulillah sudah naik ke kelas 4 SD, dan Cinta baru saja diwisuda di playgrup lantas melanjutkan di TK.

Subhanallah…………..

Keren..keren…, aku sangat gembira menyadari bahwa aku telah dikaruniai Allah harta yang sangat berharga, yaitu anak-anak yang sehat dan normal. Mereka tumbuh sesuai usianya, berkembang kemampuannya, dan yang terpenting adalah mereka aku lahirkan dalam keadaaan Islam.

BUKANKAH ITU MENCENGANGKAN? SUBHANALLAH!

Selain itu, aku masih diberi umur yang cukup sampai saat ini sehingga dapat menemani tumbuh kembang mereka

Aku juga bersyukur bahwa ayah mereka telah memberi bekal yang cukup, yang sudah dia lakukan,yang dia katakan, maupun pesan –pesan tak terucapkan ataupun sinyal-sinyal yang dia sampaikan lewat sikapnya sehari-hari ataupun lewat sorot matanya pada saat-saat menjelang kepergiannya.

Pancuran kasih sayang keluarga besarku, dan keluarga besar suamiku adalah penghantar semangat anak-anakku dalam menjalani hari-hari mereka.

Lihat ini ketika teta wisuda

Kerabat, sahabat, dan mereka yang menyapa dengan penuh kasih yang tulus, merupakan karunia Allah yang tidak terhingga bagi kami. Keberadaan mereka inilah yang menepis anggapan orang-orang (bahkan anggapan diriku sendiri) yang mengatakan bahwa aku sendirian mendidik anak-anakku.

Bantuan moril dan materil, serta doa mereka yang tak putus-putusnya, seperti selimut hangat dikala dingin dan semilir angin dikala panas.

Dengan segala kerendahan hati, izinkan kami ‘tuk mengucapkan terimakasih pada Aa Aal, Teh Eneng, Teh Fifi, yang sering menjenguk kami di akhir pekan. Membawa penganan kecil yang menggembirakan, dan keakraban yang tak ternilai harganya.

Juga untuk bi Uum, mang Didil, serta Teh Denis yang senantiasa memperhatikan anak-anak sampai hal yang sedetil-detilnya, seperti anak mereka sendiri. (kalian adalah payung di musim hujan)

Salam khidmat dan terimakasih kami pada Umi, wa Eman sekeluarga, wa Umay, wa Memen (yang rame dan ramah), Wa Wawi (yang sabar dan damai, sehingga kehadirannya selalu dirindukan Cinta), Wa Een, Wa Neneng (yang walaupun jauh di Bengkulu, tetap dekat dihati kami), Wa Ene sekeluarga (Makasih wa, suka nelpon kalo wa Udin lagi Mudik, serta kiriman oleh-oleh rengginang dan gegemblong tentunya).

Wa memen pun datang saat Cinta samenan

Ucapan terimakasih yang tak terhingga kami sampaikan pada Almarhum Nenek dan Abah, yang mengajarkan kebiasaan mengaji setelah magrib padaku sehingga anak-anakku mau mengaji (Oya, nek, Teta dan Ola beberapa kali mendapatkan plakat dan piala dalam bacaan Alquran). Semoga Alquran diamalkan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Juga kami sangat terkesan pada almarhumah Nenek Jati (‘Emi), yang sederhana dan baiiiik hatinya. Semoga mereka diampuni segala dosanya oleh Allah SWT, dan diberikan tempat yang indah disana. Amin. Juga Mama jati dan E’mi yang baru,

Wa Uun, wa Inun, wa Yati dan keluarga, wa Tutin, wa Enas, Bi Aan dan A Ade yang semua kehadirannya menginspirasi

Keseharian kami. Sungguh, keluarga Jati sangat berbeda dengan keluarga Majau. Aku belajar tentang kejujuran hati dan kesungguhan mengasihi dari mereka semua.

Walaupun mereka tidak melihat langsung sepak terjang kami dalam mengarungi kehidupan ini, tapi mereka mengetahui perkembangan kami dengan cukup detil, karena kami menjaga komunikasi.

Memang tak dapat dibantah bahwa perjalanan dalam mengasuh dan mendidik anak-anak tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Mau bukti?

Lihatlah kehidupan kami di pagi hari. Anak-anak yang susah dibangunkan padahal harus sudah bersiap-siap berangkat ke sekolah. Tak jarang Oim harus kembali dari sekolah karena ketika sampai disana sudah lewat dari jam tujuh. Dia tidak dipebolehkan masuk oleh satpam karena pintu gerbang sudah digembok.

Begitu pula Ola. Dia belum bangun kalau belum jam setengah tujuh. (Itu dulu, sebelum dia kelas 4). Bayangkan! Sekolah akan mulai jam tujuh tapi ia baru bangun jam setengah tujuh! Belum lagi dia harus mandi, sarapan dan memakai baju, yang nauzubillah susahnya. Itu kalau tidak pake acara ngambek.

Untung ada Nano (teh Enok) yang dengan Kunti (tekun dan teliti) membantu tetek bengek urusan rumah tangga kami (makasih ya Nooo… tanpamu hidup kami tak ada artinya, semoga Nano dapat suami yang ngganteng, soleh dan ‘tajir’)

Stres..stress..

Tiap pagi aku bernyanyi dengan lagu yang sama.. mengomel sambil hilir mudik kesana-kemari menyiapkan ini itu. Sometimes I come late also to school where I work, disambut oleh senyum dingin wakil kepala sekolah.

“Sorry…buu” hormatku sambil nyengir kuda.

“hmm yyaa… deh” tukasnya cepat, tentu saja sambil cemberut. “awas lo ya..besok…masih mau ngajar nggak sih?”

Huh! Sebel banget kalau pagi hariku sudah begitu.

But .. the show must go on. Di kelas , anak-anak bertanya

“ms… why are you late?”

“hmm.. ms nyiapin anak-anak mis dulu…”

“ You must be punished then………!” seru anak-anak yang lucu itu. Wah gawat!

Aku duduk. Menarik nafas panjang. Kelas, tak kupungkiri, adalah tempatku mengais pahala dan rezeki. Jadi aku harus tenang dan menciptakan kenyamanan bagi diriku sendiri. Supaya aku dapat bekerja dengan baik. Maka aku cepat-cepat beradaptasi dengan suasananya, yang keadaannya sangat berbeda dengan rumah.

Begitulah keseharian kami. Mereka, yang Tk sampai SMA harus membawa bekal dari rumah untuk makan siang agar mereka tidak lapar dan supaya menghemat. Jadi sebelum berangkat kami mengisi 5 rantang nasi dan lauk pauknya (kalo lagi ada).

Uang jajan Ola dua ribu, Teta lima ribu, Oim delapan ribu. Itu untuk tambahan bekal jika mereka masih lapar atau haus. Begitupun kerap mereka minta tambah.

“Kurang maa.. ga ada yang seperti Oim. Teman-teman bawa uangnya lebih banyak!” atau

“maaaaaaaaa, Ola masih laaapeerrrr, mana cukup uang dua rebu!” atau

“mmaaa, teta mau beli nasi padang!”

Tapi aku selalu memberi pengertian pada mereka untuk memahami keadaan, walaupun kadang hasilnya tidak selalu memuaskan. Kukatakan, bahwa kita harus membayar lebih banyak untuk masa depan kita yang lebih baik. Gubrak!

“Tapi Oim maunya sekarang… bukan masa depan. geuraeuun.”

Sore hari kami berkumpul lagi. Gembira sesaat karena sudah terbebas dari pelajaran sekolah, lalu ritual keluarga berlangsung kembali. Jika tidak diingatkan, anak-anak mungkin tidak mandi sore, bahkan mengganti baju sekolah sajapun enggan.

Bau matahari, sisa makanan, kaos kaki lembab bercampur baur di ruang keluarga sekaligus ruang tidur dan ruang makan rumah kontrakan kami yang sempit. Suara gitar Oim, alunan lagu Nidji dari MP3 dan omelan-omelanku menjadi simponi ‘merdu’ tak terperikan.

Jika magrib tiba, semua berebut kamar mandi. Memarahi satu dengan yang lainnya, masing-masing ‘mengklaim’ bahwa yang lain adalah yang menjadi penyebab keterlambatan mereka mandi atau solat.

Lalu tidak satupun ada yang mau sholat berjamaah dengan alasan ‘mamah itu lama bacaannya’.

Setelah itu mereka berebut sajadah atau mukena walaupun jumlahnya cukup untuk kami berlima.

Hiruk pikuk itu akan mulai reda jika mereka sudah mengaji dan membaca buku. Aku mewajibkan mereka membaca Alquran dan bacaan lain -apa saja- sesudah maghrib. Tentu saja jika Ola atau Teta ada PR, mereka harus bikin PR dulu. No television, hardikku selalu, walaupun mereka merengek. At last sih, Walhasil mereka menurut, dan mulai enjoy with their books.

Nano baca Nida atau Ummi. Oim biasanya lebih suka PC media, ituloh majalah kecil yang hurufnya ketjil-ketjiil banget. (Sebenarnya ada edisi yang besar dengan iming-iming hadiah sebuah cd program, tapi lebih mahal harganya).

Teta membaca buku cerita remaja, Ola lebih memilih majalah bobo. Adek Cinta suka “Benny n Mice”

haa???

Oya, bobo ‘kan datangnya hari kamis. Setap majalah itu tiba, pasti berantem, yang akhirnya kadang membuatku menyita majalah itu sehingga tak satupun membacanya.

Kadang mereka begitu dekat, begitu akrab. Bernyanyi lagu baru bersama, diiringi musik dari mp3 di computer, atau gitar oim. Gonjreng-gonjreng. Kadang Oim dan Teta curhat tentang teman sekolahnya.

Oim sangat terpesona pada lagu2 Iwan Fals, terutama lagu tentang Bung Hatta, kalau Ola dan Tetamah lagu apa ajah.. , yang penting lagu baru yang lagi ngetren. Tren….

Dan Cinta? “Atulah mahlut Tuhan …yan telchipta yan palin setsihhh….. aw… aw.. aw.. ich.. ichh…” teriaknya dengan suara cempreng sambil goyang-goyang ala Mulan Jamile.

Selasa, 12 agustus 2008

Usai makan malam di ruang depan, aku meraih buku yang terdekat dari jangkauan dan membacanya. Cinta (kala itu usianya 3,9), Yang sedang main boneka zero kesayangannya, tiba-tiba bertanya,

“mah, talo itan itu belbahadia ndak? (mah kalau ikan itu berbahagia nggak?)

Sambil terbengong-bengong karena bunyi pertanyaannya, aku menjawab, “iya dong sayang… Ikan juga berbahagia,” kataku. Ia memperhatikanku dengan seksama, seolah-olah mengukur kebenaran jawabanku.

“Talo dia dipoton, dimana? (kalau dia dipotong, bagai mana?)” tanyanya lagi.

“Wah…” sergahku dengan perasaan berbunga-bunga karena senang, “kalau dipotong sih, dia sakit. Kasihan juga dek..” Aku memandang matanya yang bulat.

“Dek… emangnya bahagia itu apa sih? Aku mau tahu apakah dia mengerti arti kata itu.

“Adek ndak tauuuu……….”

Tidak ada komentar: