Kamis, 03 Maret 2011

Aneh tapi Nyata

Aneh tapi Nyata

My Friend Fenny

Cerita miris anak sekolahan, sebuah renungan menjelang ujian akhir UAN anak-anakku

Fenni adalah siswa kelas enam sebuah Sekolah Dasar dekat rumahku. Rambut keriting dan kulitnya yang hitam manis memper- lihatkan kepribadiannya yang khas. Matanya bulat hitam dan cerdas.

Sebentar lagi fenni ujian akhir. Dia sangat serius belajar karena ini adalah ujian akhir pertama dan satu-satunya yang akan diikutinya selama 6 tahun ini.

Ia membaca buku, berdoa, ikut les tambahan dan lebih rajin mengaji. Ia bahkan kini sering ke masjid bersama teman-temannya untuk shalat berjamaah. Setelah selesai shalat, ia berdoa dengan lebih khusyuk.

Ia yakin dengan shalat berjamaah dan berdoa di masjid, maka Allah akan lebih mendengarkan doanya agar ujian UASBN nya lebih lancar.

Orang tuanya mengontrolnya ekstra ketat. Ia tidak boleh main bentengan kesukaanya, dan dengan berat hati harus istirahat main Play Station di tempat sewaan seribu rupiah per setengah jam dekat rumahnya. Tapi dia tidak keberatan, toh hanya sementara, pikirnya.

Di sekolah, Fenni termasuk anak rajin dan mendapat ranking 5 besar di kelas. Pelajaran yang paling dia sukai adalah agama, ips dan PKN.

pelajaran tentang nilai-nilai kejujuran, keadilan, rasa percaya diri, dan tanggung jawab selalu menarik perhatiannya.

Walaupun ia lebih menyukai pelajaran sosial, namun dalam ulangan IPA dan matematika ia tidak pernah mendapat nilai buruk. Paling rendah tujuh,lah..

Nah, dengan bekal seperti itu, ditambah doa dan usaha yang ia lakukan, Fenni yakin ujian akhirnya akan mudah dilalui.

Guru agama adalah guru terbaik yang ia miliki. Dia paling senang jika gurunya itu bercerita tentang tokoh-tokoh teladan idolanya, seperti nabi-nabi, para sahabat, ataupun tokoh-tokoh dunia yang sukses karena kerja kerasnya.

Singkat cerita, tibalah saatnya UASBN yang mendebarkan itu. Bismillah… doanya dalam hati. Ia masuk ke dalam sekolah dengan mantap.

Di pintu gerbang ia dicegat oleh salah seorang gurunya. Beliau berpesan agar Fenni keluar pada saat pertengahan ujian berlangsung.

Ada apa ya? Pikir Fenni.
Masuk kedalam ruangan ujian, dua orang pengawas yang berpenampilan rapi, dan sangat berwibawa… sudah menunggunya. Wah, pikir Fenni, dia kira dialah yang paling awal tiba di kelas. Ternyata pengawas yang berasal dari sekolah lain itu lebih sigap, juga beberapa temannya yang datang lebih dulu.

Hari pertama Matematika. Ketika ia sudah mengerjakan sekitar 5 soal, ia minta izin ke kamar mandi. Di kamar mandi, guru yang tadi menghadangnya sudah menunggu. Rupanya ibu guru itu bermaksud memberikan sebuah kertas kecil yang dilipat-lipat.
“Apa ini bu?” Tanya Fenni polos.

“Ini… jawaban matematika, ssssssttt… jangan sampai ada yang tahu.” Bu guru berbisik sangat pelan.

“Oh… dimana naronya bu?” lentik bulu mata Fenni mengerjap-ngerjap, perasaannya campur aduk. Dia mulai mengerti.

“Ssssssstt… kan lengan bajumu panjang, jadi kamu tempelkan di lengan… inih udah ada doubletape-nya”. Kata bu guru sambil tengok kiri kanan.

“Bagaimana cara me..nyonteknya, bu?”
“Ssst.. aduh…buka pelan-pelan.. kalau pengawas sedang lengah..jangan lupa kasi tahu teman-teman yah?”

“Oh..ya ya..” Fenni bergegas kembali ke kelas.

Di dalam, Fenni kesulitan memenuhi ‘wasiat’ bu guru. Jantungnya berdegup kencang. Ia jadi bimbang dan gamang. Konsentrasinya hilang, ia sekarang lebih memikirkan bagaimana cara melihat kertas kecil itu ketimbang mengurai soal-soal matematika yang hanya 20 nomor itu.

Fenni jadi gelisah. Sebentar ia melihat ke depan, kemudian matanya beralih ke lengan baju putih yang tersetrika rapih itu.

Banyak waktu yang terbuang karena Fenni bimbang dan gamang. Seumur-umur baru kali inilah dia ‘disuruh’ menyontek oleh orang dewasa. Biasanya mereka menasehatinya untuk tidak melakukannya.

“Sreet..” ha…berhasil. Ia dapat menarik lengan bajunya. Ahh… Fenni menarik nafas panjang..

Nomor 6 C.
Tapi..ketika ia menutup lengan bajunya kembali,tiba-tiba suara salah seorang pengawas mengagetkannya. Pengumuman yang biasa saja sebenarnya, tapi seolah-olah suara petir yang menggelegar yang langsung menghantam kepalanya.

“Waktunya tinggal 15 menit lagi!”

She tried to go back to the right track. Ia tidak berani memandang wajah pengawas. Dia mencoba menekuni angka-angka diatas kertas itu. Tapi sial…dia tidak berhasil. Hilanglah semua yang sudah dia pelajari tadi malam. Dia benar-benar lupa segalanya.

Apa yang sudah ia tekuni selama enam bulan terakhir, bahkan selama 6 tahun ini, seakan-akan raib tiada tersisa.

Yang dia bayangkan adalah wajah dan suara gurunya yang terengah-engah di toilet tadi. Lalu wajah guru agamanya, lalu wajah ibunya. Oh my God…please help me…

“Hei… siapa itu ….namanya…. kenapa bengong?” suara pengawas mengejutkannya lagi.

Fenni tidak menjawab. Ia hanya memandang pengawas itu tanpa ekspresi. Ia takut, tapi wajahnya seolah tak punya rasa. Wajahnya yang biasa sumringah terlihat pucat.

“Waktunya tinggal lima menit. Cepat… nomor 6 c, 7 a, 8 d…”
Fenni makin kaget… Ia sama sekali tak mengira. Pengawasnya yang ia tidak kenal itu juga memberinya contekan.

Matanya melotot… seperti ayam kena flu burung..

Pengawas itu mendekat. Fenni tak tahan lagi. Gemetar tangannya, gemetar seluruh tubuhnya.
“Cepetan tulis!”….kata bapak pengawas setengah membentak.

Ditulis di Pondok Pinang mei 2009 (endoh)

Tidak ada komentar: