Kamis, 03 Maret 2011

Kasihi Parno

Pendidikan Masyarakat, sebuah alternatif sederhana

Sebuah renungan tentang anak dunia

Seorang anak tetangga, bernama Parno (namanya Parno thok! Tak ada embel2 lain atau nama orang tua) , tidak lagi mau berangkat sekolah.

Ia lebih suka mendekam di rumah, menonton TV atau bermain PS di pusat penyewaan terdekat dari rumah kontrakan ibunya di gang yang sempit belakang sekolah “orang Kaya” (maaf, ini sebutan orang2 di kampong itu) di bilangan Pondok Pinang.

Lebih dari itu, ia juga tidak hendak bermain dengan teman-teman sebayanya lagi. Beberapa minggu terakhir ini dia seolah-olah menghilang dan mengasingkan diri.
Tak kurang dari guru kelasnya, menyambangi Parno ke rumahnya. Mengapa gerangan ia demikian? Usut punya usul, rupanya Parno memiliki banyak alas an “Logis” untuk semua itu;

Di sekolah ia sering diejek teman-temannya karena mempuyai seorang ibu yang ‘tidak waras’. Karena itu, konsentrasi belajarnya menjadi kacau, dan ia seringkali murung. Hal itu mengganggu proses intelektualitasnya, sehingga ia sering kena marah gurunya.

Di rumahnya, iapun malu bermain dengan teman-temannya karena acap kali ibunya yang sakit jiwa itu melenggang didepan mereka dengan busana dan penampilan yang tidak wajar. Saat Parno bermain layang-layang atau main bola, temannya menunjuk-nunjuk mama Parno yang berjalan layaknya seorang pragawati itu.

“Eh No… ibu lu tuh! hahaha ”

Keasyikannya bermain jadi terganggu. Parno tertunduk. Ia yang sebenarnya anak periang, hanya diam mematung memandang ibunya. Semangat bermainnya surut seketika. Ia pun berlari pulang .

Di rumah, Neneknya yang tua, dan Kakeknya yang renta, tak dapat memenuhi dahaga Parno yang haus akan bujukan dan sentuhan. Ingin ia dipeluk dan dihibur, namun ia merasa neneknya tidak mengerti dirinya.

Ia tak paham, ia bingung, ia hanya menginginkan kasih sayang, yang tidak didapatkan dari ibunya yang memiliki fisik yang lemah, mungkin genetic, tanpa daya, jangankan membimbing Parno kecil, ia sendiripun masih harus menunggu neneknya hanya untuk sekedar menyendok nasi.

Jadi ketika parno ingin mengadukan kesedihan hatinya, tak ada seorangpun yang dapat ia andalkan.

Setiap hari nenek sibuk mencuci dan memasak, atau memenuhi panggilan pelanggan. Ia tak sempat berlama-lama dengan Parno, hanya untuk “sekedar” mendengarkan tangis sedih sang cucu yang sesekali ingin dipangku.

Kakek yang -syukur- masih bekerja , kadang jaga malam dan sering masuk angin minta dikeroki nenek, tak sempat dan tak tahu bagaimana perasaan Parno yang terdalam,tak mendapat kasih sayang yang cukup dari ibunya itu.

Nenek dan kakek renta itu juga tak punya wibawa yang cukup untuk memaksa parno kembali ke sekolah. Parno diam seribu bahasa, Nampak tak bergeming ketika dimarahi, sampai kemudian nenek kakek yang malang itupun tak sampai hati untuk memaksanya lagi.
Mereka pasrah.

Tapi ada yang menggelisahkan nenek, ketika Parno ditinggal nenek di rumah, dengan mama yang tak waras dan kakak yang lemah. Apa ya yang dikerjakan Parno ya..?
Jadi ketika Parno minta uang tiga atau lima ribu perak dan izin bermain PS ke gang sebelah, nenek merasa lega. Tadinya beliau kuatir Parno bermain ke jauh dan bergabung dengan anak-anak nakal di jalan raya.

Nenek tidak tahu apa itu PS dan efeknya, yang penting ia kasih parno uang setiap pagi dan Parno anteng sampai siang atau bahkan sore hari. Bahkan kadang Parno tak pulang untuk makan siang.

Sodara, Ini adalah kisah nyata. Di gang-gang yang sempit, di pelosok-pelosok desa yang terpencil, masih banyak Parno-Parno lain, dengan kasus yang berbeda beda, yang tidak terjamah oleh pendidikan yang layak.

Selain kisah parah Parno tadi, puluhan bahkan ratusan kasus lain sedang menggejala di negeri kita. Kelihatan sederhana, namun serius, bahkan kritis, bukan hanya terjadi pada anak yang tidak sekolah. Tapi juga anak-anak yang sekolah.

Anak-anak yang secara mekanis pergi ke sekolah di pagi hari dan pulang pada sore hari, berlomba mengejar UASBN dan UAN. Ibu-ibu bangga jika anaknya menggondol piala ranking pertama. Ayah-ayah akan menepuk dada jika anaknya berprestasi, dan menyalahkan guru jika bermasalah di sekolah…… adalah fenomena massal yang akan mejadi endemi.

Anak-anak yang sudah menjadi mesin pencetak nilai ini, pun banyak yang tidak peduli dengan sopan santun dalam berbahasa dan berbusana. Mereka tak lagi menghargai tetangganya, kerabatnya, gurunya, bahkan ayah ibunya..

Pelajaran PKN, nilai-nilai religi, hanyalah tercetak diatas kertas yang tak lama lagi akan tercampak.

Jadi…Siapa yang punya andil dan bertanggung jawab terhadap harga diri dan masa depan mereka, terlebih bagi orang semacam Parno?

Jika kita tidak peduli, lihatlah bangsa ini lima sampai sepuluh tahun mendatang. Bukan hal yang tidak mungkin kondisi bangsa ini akan lebih buruk.

Mungkin, anak-anak Punk yang berbaju hitam ketat dan beraksesoris besi-besi di jalan2 raya, yang tak jarang memeras penumpang bis kota, adalah parno-parno kecil pada awalnya. Yang tak diperlakukan secara layak oleh orang-orang ‘berbudaya’ disekelilingnya, yaitu orang tua, kerabat, tetangga, bahkan gurunya.

Sebagai pamungkas dari tulisan ini, marilah kita, para pembaca, membuka diri kita…
Jika kau adalah seorang ibu atau ayah, maka anak-anak yang ada disekelilingmu adalah anak-anakmu jua, yang memerlukan sentuhan cinta dan teguran jika keliru, layaknya anak kandungmu.

Jika kau seorang pemudi atau pemuda, maka anak-anak yang tinggal di kampungmu adalah adikmu jua, yang dapat kau ajak bercanda, mengerjakan PR ataupun shalat berjamaah di mesjid terdekat.

Jika kau seorang paman, maka mereka adalah keponakan-keponakanmu, yang mungkin memerlukan cerita dongengmu, mainan, ataupun beasiswa.

Jika kau seorang guru, maka mereka adalah siswamu juga, yang memerlukan senyuman, sapaan, dan lubang telingamu untuk mendengarkan celotehannya.

Jika kau pengurus masjid, ajaklah anak-anak muslim itu mengunjungi rumah Allah yang indah dan bersih nan mulia itu. Buatlah tempat itu nyaman untuk mereka bercengkerama dan mengkaji agama.

Janganlah menakut-nakuti mereka, biarkan mereka tertawa… dan ajaklah mereka ke jalan yang lurus.
Ingatlah ketika kita kecil.. bagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang tua…… bukan hanya orang tua kita.. tapi juga orang-tua-orang tua lain yang berada disekeliling kita.

Di usia ke 64 tahun kemerdekaan Indonesia ini, marilah kita ciptakan anak-anak yang merdeka. Merdeka!

“I believe that children are our future
Teach them well and let them lead a way.
Show them all the beauty they posses inside
Let the children laughter remind us how we used to be”

Pondok Pinang, di hari kemerdekaan tahun lalu

Mahfudhoh, Pengajar SD Harapan Ibu, Pondok Pinang.

Tidak ada komentar: