Kamis, 31 Maret 2011

PULANG KAMPUNG, sebuah catatan buat mang Azis

Dalam sebuah perbincangan dengan seorang kawan baru di suatu sore, dia menceritakan rencananya untuk pulang kampung.

Dengan antusias dia merinci mimpi-mimpinya, apa yang akan dia lakukan setelah nanti dia meninggalkan pekerjaannya, menjual rumahnya, dan memboyong serta istri dan kedua anaknya.

"Mau apa pulang kampung?" tanyaku dengan nada biasa.

"Banyak," katanya. "Pertama, saya akan membuat bale*, mudah-mudahan satu dua orang akan tertarik untuk datang belajar alquran, tahsin, dan tahfidz", wah...

Selanjutnya, dia juga akan melanjutkan usaha ayahnya mencerdaskan warga kampung dengan mengajar ngaji setiap malam dan berceramah bagi pengajian mingguan ibu-ibu.

Pada perjalanannya nanti, akan dibukanya sekolah yang menggunakan kurikulum berbasis kampung. Yaitu, para siswa akan digiring pada suatu kemampuan dasar yang diperlukan ketika mereka lulus nanti.

Misal, di kampungnya, lapangan kerja yang mendominasi adalah pertanian, maka di sekolah tersebut akan diajarkan bagaimana praktek bertani; turun ke sawah, mencangkul tanah, menanam sayuran, dan lain-lain.

Saya mulai tertarik...

"Kampung saya juga baik untuk peternakan, jadi saya akan ajarkan bagaimana cara ngurusan embe dan munding, menyediakan pakan, dan cara membuat kompos."

Keren... (Jadi kalau kampung dia di pesisir, dia akan membuat sekolah nelayan..)

Setelah perbincangan itu saya terhenyak dan berfikir, betapa sebenarnya pemikiran-pemikiran seperti ini sangat diperlukan oleh masyarakat kita.

Saya mempunyai teman lain yang sangat rajin memanfaatkan lahannya yang terbatas di sekitar rumahnya untuk ditanami berbagai macam tanaman; ubi, talas, pisang....

Disela-sela pekerjaan utamanya sebagai guru, dia menikmati waktunya bermesra dengan tanah gembur dan hijaunya dedaunan. Dia sangat menikmati hobinya itu, terutama jika kebunnya itu menghasilkan...

Dia bercerita betapa persediaan pisang tak habis-habisnya di dapurnya, dia dan keluarganya dapat membagi hasil kebunnya pada tetangganya jika panen tiba, sehingga tetangganya merasa senang.

Saya berkomentar, jika saja setiap pemilik tanah di negara subur ini memanfaatkan setiap jengkal tanahnya seperti bapak itu, tentu tak akan ada keluhan kelaparan atau kekurangan gizi bagi para penduduk.

Di nusantara yang gemah ripah loh jinawi ini, dimana "cau rayud, gedang raang", tak akan ada ibu-ibu yang harus naik ojek 3 km ke pasar hanya untuk membeli cabai dan tomat.

Seperti di kampung saya, hanya segelintir orang yang mampu makan 4 sehat 5 sempurna, karena sebagian besarnya benar-benar tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarganya, karena tidak mempunyai uang untuk membelinya, dan tidak memiliki kebun sayur dan ternak ayam/bebek.

Aneh, bukan? betapa ironisnya kita ini, hidup di negara agraris yang terbentang luas dibawah garis khattul Istiwa
, dimana tongkat kayu dan batu jadi tanaman , namun memiliki tingkat kesejahteraan yang sangat rendah.

Belum lagi klaim bahwa Indonesia adalah negara maritim, dimana ikan-ikan lezat di samudera nan luas menanti disantap, oleh bocah-bocah kecil Indonesia nan cerdas pada mulanya, namun kemudian menjadi bodoh gara-gara tidak mampu menangkapnya.

Mengapa? Mengapa oh Mengapa?

Oooohh.... saya tahu sekarang jawabannya..

Terinspirasi rencana kawan baru saya itu, saya ingin mengatakan, bahwa ada yang "missed" dengan pola pendidikan kita.

Lihatlah, betapa kita diajak berkhayal dengan mimpi-mimpi kosong di sekolah dengan sistem pendidikan kita yang mengajarkan "mental pegawai", dengan materi pelajaran yang tidak nyambung.

Seperti waktu sekolah saya dulu, ibu saya berkata, " Nak, kalau nanti kamu jadi guru dan punya gaji, kamu harus bantu saudara-saudaramu yang tidak mampu ya!" pada kenyataannya, sekarang saya belum mampu memenuhi harapan ibu saya itu.

Di sekolah, anak-anak diajari berbagai bidang ilmu yang kurang membumi buat anak seusia mereka. Bahkan kadang sama sekali tidak terpakai pada saat itu dan sesudahnya.

Maaf, bukan maksud saya menafikan ilmu yang mereka dapatkan, tetapi kurang tepat sasaran dan juga waktunya. Sementara jika waktu yang sedikit itu digunakan untuk mengajarkan hal-hal lain yang bersifat "life skills", maka saya yakin hasilnya akan luar biasa.

Contoh, si Ola, anak saya waktu kelas 4 SD. Guru dan buku2 paket mengajarkan PKN tentang istilah-istilah dalam ketata negaraan, sepeerti menghafalkan nama-nama lembaga legislatif dan eksekutif, dsb, ketimbang mengajarkan enterpreuneurship, atau pertanian, atau peternakan yang nyata-nyata diperlukan ketika dia turun gunung nanti.

Ilmu ketetanegaraan tadi terhenti pada ulangan harian dan EHB, setelah itu, ada penghargaan bagi yang nilai rapornya bagus, dan ada keluhan jika sebaliknya.

Sudah....

So what next?

Nanti ketika anak-anak lulus SMA, d kota ataupun di desa, maka nama harumnya akan pudar perlahan-lahan sebagai "anak sekolahan" yang berbudaya tinggi, karena kebanyakan dari mereka tidak dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang didapatnya di sekolah.

Hal itu disebabkan karena ilmu yang mereka dapatkan masih etrlalu "umum" dan "bias". Pada saat orang tua mereka memerlukan bantuan mereka untuk mengerjakan pertaniannya atau peternakannya,atau membantu di warung kecilnya misalnya, mereka akan "kagok" bahkan "alergic", karena selama ini sekolah tidak mengajarkan hal-hal tersebut pada mereka.

Belum lagi kita bicara masalah akhlak (attitude, pembahasannya lain kali ya...). Bagaimana para lulusan sekolah itu menyikapi "kenyataan" di lapangan.

Nah, sodara...
Marilah kita hidup sejahtera di bumi kita yang subur ini, marilah kita pandai dan terampil mengelola sumber alam kita yang kaya raya ini, dengan memperbaiki pola pikir dalam sistem pendidikan anak-anak bangsa, sebelum semua harta benda kita habis diangkut oleh negara digdaya ke negara mereka.

Lihat, betapa di pasar-pasar kita, baik tradisional maupun moderen, lapak buah dipenuhi oleh jeruk lookam, ponkam, anggur red globe, apel Fuji. Ada lagi kripik singkong import dari Amerika, wortel import dari China, Sapi potong beku dari New Zealand, telur bebek dari Jepang, ikan asin entah dari mana....

Ih... malu deh....


Pondok Pinang, 1 April 2011

Tidak ada komentar: