Minggu, 20 September 2015

Asyik


Namanya Asyik. Semua orang di desa kami mengenalnya karena namanya yang unik.
Siapa yang mengerti artinya dalam bahasa Arab? tolong beritahu saya. Mungkin akar katanya Asyaka
Yusyiku Asykan atau apa hehe..
Jangan iri jika namanya terkenal, karena hanya ada satu nama Asyik di desa kami. Bahkan mungkin di sekolah kami sejak Tingkat Madrasah Ibtidaiyah (SD) sampai Aliyah (SMA) Mathlaul Anwar.
Asyik adalah tetangga saya, masih kerabat juga, dan kakak kelas saya waktu Sekolah.
Saat sekolah Asyik sangat cemerlang. Dengan lafal huruf R nya yang cadel, ia sangat fasih berbahasa Inggris. Belum lagi ilmu lain yang dikuasainya; fiqih, hadits, Bahasa Arab, bahkan ilmu Manthiq (ilmu Logika).
Maka saya agak heran saat terakhir bertemu dengannya, ia tidak mengajar. Bahkan ia sedang asyik bekerja di kebunnya. Sayang sekali, pikir saya. Ilmunya tidak disebarkan.
Sekarang Asyik mengolah sebidang tanah warisan dari ayahnya untuk dijadikan kebun jagung dan kolam ikan.
Tangannya kasar karena setiap hari memegang cangkul. Keringat bercucuran mengaliri dahinya yang menghitam.
Ia mempersilahkan kami masuk ke rumahnya yang terbuat dari bambu. Kami masuk ke rumah sejuk itu. Rumah itu berlantai tanah dan retak retak karena kemarau panjang.
Asap yang mengepul dari hawu membentuk garis-garis putih yang indah.
Garis-garis itu memantulkan sinar matahari sore, melalui lubang-lubang anyaman bilik bambu, melukiskan siluet sosok istrinya yang sedang menjerang teh untuk kami.
Asyik pamit membersihkan dirinya yang bolokotan leutak. Ia pergi menuju sumur kecil di pinggir balong, sementara kami asyik berbincang dengan istrinya yang rendah hati dan selalu tersenyum, sambil menikmati kudapan pisang goreng dan kumili rebus dari kebun sendiri.
Sesekali terdengar kecipak ikan mas dan suara bebek yang sedang berenang di balong depan rumah mereka, mengisyaratkan harmoni suasana desa.
Setelah asyik duduk dengan kami, ia bercerita dengan semangat tentang pembangunan desa.
Oh rupanya salah sangka saya. Ternyata ia tidak hanya senang bertani, tapi juga sangat peduli dengan perkembangan masyarakat.
Dengan masygul ia menyatakan keprihatinannya dengan masjid yang "kosong" dari kehadiran anak muda. Anak muda, katanya, sangat acuh tak acuh seperti tak butuh lagi masjid.
Dulu, katanya, masjid adalah pusat dari kegiatan pemuda. Jika magrib tiba, anak-anak muda berbondong2 ke masjid. Shalat dan mengaji.
Setelah itu mereka pergi ke Bale untuk belajar ilmu agama dan menginap di Bale untuk mengaji setelah subuh hari.
Sekarang tidak ada lagi. Kalau dulu mesjid ramai terlebih2 di bulan Ramadhan, sekarang sepi.
Kalau dulu malam taqbiran mesjid gempita oleh takbir dan ngalagudag, sekarang suara speaker didominasi suara kakek tua yang terbatuk2.
Dari nada bicaranya terlihat kental Asyik merindukan masa lalu desanya yang sarat dengan spiritualitas.
Lalu, kenapa Asyik tidak mengajar di Madrasah? Saya tanya. Bukankah dengan mengajar ia bisa meraih mimpi2nya?
Tidak.. katanya. Bukan itu solusinya. Pendidikan masyarakat dimulai dari rumah. Orang tualah sokoguru keberhasilan pembangunan manusia.
"Maka saya mengajar orang tua di majelis Talim dan paguyuban2.
Semoga kita bisa mengembalikan anak2 mereka ke masjid tercinta kita."
Kata Asyik mengakhiri percakapan kami.
Wow.. saya tersadar. Ternyata Asyik lebih asyik dari yang saya duga.

Tidak ada komentar: