Minggu, 20 September 2015

(Robbanaa Hab lanaa
Min azwaajinaa wa Zurriyyatinaa
Qurrota A'yun)

Tak seperti biasanya, anakku pulang dengan muka kusut. Ia terlihat seperti satu dua tahun diatas usianya.
"Come on young boy, What's up?" tanyaku menepuk bahunya saat ia menyalamiku.
Rupanya ia sedang galau. Sambil ngademprok diubin rumah kami yang bersih setelah kupel tadi , iapun mencurahkan isi hatinya.
"Mama... apakah mama seperti sebagian besar mama-mama yang lain?" sebuah pertanyaan pembuka.
Atuh ke heula Kai... ngarenghap heula. Etamah Ujug-ujug udah menyuguhkan topik "berat".
"Tunggulah sebentar. Mama sudah siapkan teh manis dan nasi liwet kesukaanmu" kataku ngeloyor ke dapur.
"Ma..." Katanya tak bergeming setelah aku duduk didepannya,
"Apakah terpikir oleh mama jika aku lulus nanti, aku harus mendapatkan pekerjaan yang baik?" di sebuah Law Firm bonafid misalnya ?" aku mengangguk.
"Lalu aku mendapat gaji besar?"
"Ya.. tentu" jawabku mantap.
"Lalu aku menikah, punya anak, rumah dan mobil?" tanyanya lagi penuh selidik. Aku masih meraba-raba arah pembicaraan anakku lanang satu ini.
"Kenapa mama mau begitu?" serempetnya.
"Oh.. eh.. bukankah begitu seharusnya nak?"jawabku mencari-cari alasan yang tepat.
Sekarang ia adalah lelaki dewasa, bukan lagi bocah sulungku yang lucu. Itu dulu...
jadi saat berdiskusi atau debat, àku "diwajibkan" olehnya memiliki argumentasi yang dapat diterima akal sehat jika itu bukan sebuah dogma.
Ia baru akan menerima alasan anehku hanya jika ada ayat Alquran atau Haditsnya.
"Karenaa.. eu.. karena its normal right?"jawabku balik bertanya.
"Dengan bekerja kamu akan hidup tenang. Dengan berkeluarga kamu akan memiliki sebuah lembaga otonomi. " kataku.
"Oh tentu. Saya akan berkeluarga. Tapi istriku juga tidak boleh punya fikiran yang sama dengan mama." kilahnya. "Ia harus mau diajak hidup sederhana".
Lho.. kenapa? Jika kamu punya kendaraan, mama juga bisa nebeng jalan-jalan ke tempat wisata.. sambil memangku cucu mama yang cantik berkepang dua..."jawabku setengah bercanda.
Tapi candaanku rupanya kurang lucu. Ia sama sekali tidak tersenyum. Apalagi tertawa.
"No, mam..." sangkalnya serius.
"Aku mau lanjut S2 lalu S3. Setelah itu aku akan hidup di desa. Menanam pisang dan memelihara unggas. "
"Selain itu aku ingin jadi guru atau dosen. Aku akan mengajar ngaji dan Calistung pada anak2 tetangga.
Dan aku akan mendedikasikan ilmuku di Fakultas Hukum UNMA.
Aku tidak mau menyumbang polusi dan kemacetan. Karena dekat, Aku akan naik sepeda dan jalan kaki atau naik angkot saja."
"Doakan ya mah.. " pungkasnya, seraya menarik nafas lega setelah unek-uneknya tumpah... dan ia baru bisa makan nasi liwetnya dengan lahap.
Hap !
Waj'alnaa lilmuttaqiina imaamaa...

1 komentar: